Jumat, Oktober 30, 2009

95,9 Persen Warga Wonorejo Demak Berubah untuk Tidak Buang Air Besar di Sembarang Tempat


Sembilan desa di tujuh kecamatan se-Kabupaten Demak telah tersentuh Program Nasional Penyediaan Air Bersih Untuk Masyarakat (PAM Simas). Desa-desa tersebut meliputi Karangasem (Sayung), Banyumeneng (Mranggen), Pundenarum dan Tlogorejo (Karangawen), Wonorejo (Guntur), Doreng (Wonosalam), Selowere (Kebonagung), serta Mutihkulon dan Jetak (Wedung).
Humas Dinkes Demak Gufrin Heru Putranto menjelaskan, program tersebut menjadi tanggung jawab lima departemen. Yakni Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Dalam Negeri dan Bapenas. “Di tingkat daerah, tanggungjawabnya melekat pada dinas instansi yang bernaung di bawah masing-masing departemen tersebut,” katanya.
Untuk mensukseskan program Pamsimas, menurut Gufrin, pihaknya sebagai kepanjangan tangan Departemen Kesehatan, telah melaksanakan community led total sanitation(CLTS). Yakni sebuah program yang lebih mengedepankan pendekatan kepada masyarakat agar mereka sadar serta mampu meninggalkan kebisaaan buruk seperti mandi, cuci dan buang air di sungai. “Kita terjunkan petugas di desa-desa pamsimas. Petugas memberikan penyuluhan intensif kepada warga agar mereka mau meninggalkan kebisaaan mandi di sungai,” ungkapnya.
Gufrin menambahkan, program pamsimas yang cukup berhasil salah satunya di Desa Wonorejo Kecamatan Guntur. Di desa tersebut, setahun lalu, warganya hampir semua belum memiliki jamban. Namun kini kondisi itu telah berubah. Dari 1.346 KK, warga yang belum memiliki jamban hanya tinggal 54 KK. Jadi, sekitar 95,9 persen warga telah memiliki jamban sendiri dan tak lagi mandi di sungai.

pamsimas.org

Kekurangan Akses Terhadap Air Minum dan Sanitasi Dasar



Air bersih dan sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Namun sayangnya pemenuhan akan kebutuhan tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik di beberapa belahan dunia. Menurut temuan terbaru WHO, lebih dari 1,1 milyar orang pada wilayah pedesaan dan perkotaan kini kekurangan akses terhadap air minum dari sumber yang berkembang dan 2,6 milyar orang tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar.
Demikian seperti dikutip dari situs resmi organiasai Kesehatan Dunia tersebut. Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya nampak pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan. WHO memperkirakan pada tahun 2005, sebanyak 1,6 juta balita (rata-rata 4500 setiap tahun) meninggal akibat air yang tidak aman dan kurangnya higienitas. Anak-anak secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti diare, dan penyakit akibat parasit. Kurangnya sanitasi juga meningkatkan risiko KLB kolera, tifoid, dan disentri.Jika permasalahan ini tidak segera diatasi, diprediksikan dunia terancam tidak bisa mencapai target penyediaan air bersih dan sanitasi, kecuali ada peningkatan luar biasa dalam hal kapasitas kerja dan investasi dari sekarang hingga tahun 2015, hal tersbeut berdasarkan laporan terbaru WHO dan UNICEF. Situasi ini terutama menjadi lebih parah pada wilayah perkotaan, dimana pertumbuhan penduduk yang cepat memberikan tekanan bagi pelayanan dan kesehatan masyarakat miskin.Wilayah Sub-Sahara Afrika masih merupakan fokus perhatian. Diperkirakan sebanyak 80% orang yang tidak memiliki akses terhadap sumber air minum yang telah berkembang berada di Sub Sahara Afrika, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Akibat pertumbuhan penduduk selama 1999-2004, jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum di Sub-Sahara Afrika meningkat hingga 23%. Kini, hanya 56 % penduduk yang memiliki akses terhadap penyediaan air minum yang telah berkembang. Hanya 37% dari penduduk di Sub-Sahara Afrika memiliki akses terhadap sanitasi dasar pada tahun 2004, dibandingkan dengan rata-rata di seluruh dunia, sebesar 59%.Pada wilayah pedesaan, akses terhadap sumber air minum yang telah berkembang dan pelayanan sanitasi dasar sangat rendah pada tahun 1990 (tahun acuan bagi penilaian MDGs): diperkirakan 64 % memiliki akses terhadap sumber air minum, sedangkan 26% memiliki akses terhadap pelayanan sanitasi. Ketika jumlah persentase-persentase tersebut meningkat hingga tahun 2004, menjadi 73% dan 39%, jumlah ini masih lebih rendah untuk mencapai target MDGs.Pada tahun 2000, dunia berjanji untuk menurunkan separuh dari orang yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar. Berdasarkan laporan yang ada, berjudul MDG Drinking Water and Sanitation Target - The Urban and Rural Challenge of the Decade, untuk memenuhi kebutuhan sanitasi, MDG akan membutuhkan upaya 2 kali lipat lebih besar dari yang ada saat ini. Sebanyak sepertiga peningkatan upaya akan dibutuhkan untuk mencapai target pemenuhan air minum MDG.Namun untuk mencapai target air dan sanitasi akan membutuhkan upaya yang lebih besar dari pembuat kebijakan, lembaga pelatihan, pendanaan, perencanaan dan pembangunan. Solusi-solusi tersebut harus menitikberatkan pada masyarakat di seluruh dunia, demikian WHO memperingatkan.Merupakan sebuah tragedi, jika dunia tidak dapat mencapai target MDGs dalam bidang air minum dan sanitasi. Air minum yang aman dan sanitasi jelas sangat penting bagi kesehatan yang risikonya kini sering diabaikan,? kata Dr. Anders Nordstrom mewakili Direktur Jenderal WHO. ? Upaya untuk mencegah kematian akibat diare dan penyakit lainnya, nampaknya akan gagal kecuali masyarakat memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Laporan ini menggarisbawahi, pentingnya strategi baru WHO terhadap terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan untuk menurunkan permasalahan kesehatan global melalui upaya pencegahan kesehatan. Dengan menangani akar penyebab penyakit, seperti air dan sanitasi dapat mengurangi 24 % permasalahan penyakit global akibat lingkungan.? Imbuh Dr. Anders Nordstrom.Demikian seperti dikutip dari situs resmi organiasai Kesehatan Dunia tersebut. Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya nampak pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan. WHO memperkirakan pada tahun 2005, bahwa 1,6 juta balita (rata-rata 4500 setiap tahun) meninggal akibat air yang tidak aman dan kurangnya higienitas. Anak-anak secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti diare, dan penyakit akibat parasit. Kurangnya sanitasi juga meningkatkan risiko KLB kolera, tifoid, dan disentri.Jika permasalahan ini tidak segera diatasi, diprediksikan dunia terancam tidak bisa mencapai target penyediaan air bersih dan sanitasi, kecuali ada peningkatan luar biasa dalam hal kapasitas kerja dan investasi dari sekarang hingga tahun 2015, hal tersbeut berdasarkan laporan terbaru WHO dan UNICEF. Situasi ini terutama menjadi lebih parah pada wilayah perkotaan, dimana pertumbuhan penduduk yang cepat memberikan tekanan bagi pelayanan dan kesehatan masyarakat miskin.Wilayah Sub-Sahara Afrika masih merupakan fokus perhatian. Diperkirakan sebanyak 80% orang yang tidak memiliki akses terhadap sumber air minum yang telah berkembang berada di Sub Sahara Afrika, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Akibat pertumbuhan penduduk selama 1999-2004, jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum di Sub-Sahara Afrika meningkat hingga 23%. Kini, hanya 56 % penduduk yang memiliki akses terhadap penyediaan air minum yang telah berkembang. Hanya 37% dari penduduk di Sub-Sahara Afrika memiliki akses terhadap sanitasi dasar pada tahun 2004, dibandingkan dengan rata-rata di seluruh dunia, sebesar 59%.Pada wilayah pedesaan, akses terhadap sumber air minum yang telah berkembang dan pelayanan sanitasi dasar sangat rendah pada tahun 1990 (tahun acuan bagi penilaian MDGs): diperkirakan 64 % memiliki akses terhadap sumber air minum, sedangkan 26% memiliki akses terhadap pelayanan sanitasi. Ketika jumlah persentase-persentase tersebut meningkat hingga tahun 2004, menjadi 73% dan 39%, jumlah ini masih lebih rendah untuk mencapai target MDGs.Pada tahun 2000, dunia berjanji untuk menurunkan separuh dari orang yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar. Berdasarkan laporan yang ada, berjudul MDG Drinking Water and Sanitation Target - The Urban and Rural Challenge of the Decade, untuk memenuhi kebutuhan sanitasi, MDG akan membutuhkan upaya 2 kali lipat lebih besar dari yang ada saat ini. Sebanyak sepertiga peningkatan upaya akan dibutuhkan untuk mencapai target pemenuhan air minum MDG.Namun untuk mencapai target air dan sanitasi akan membutuhkan upaya yang lebih besar dari pembuat kebijakan, lembaga pelatihan, pendanaan, perencanaan dan pembangunan. Solusi-solusi tersebut harus menitikberatkan pada masyarakat di seluruh dunia, demikian WHO memperingatkan.Merupakan sebuah tragedi, jika dunia tidak dapat mencapai target MDGs dalam bidang air minum dan sanitasi. Air minum yang aman dan sanitasi jelas sangat penting bagi kesehatan yang risikonya kini sering diabaikan,? kata Dr. Anders Nordstrom mewakili Direktur Jenderal WHO. ? Upaya untuk mencegah kematian akibat diare dan penyakit lainnya, nampaknya akan gagal kecuali masyarakat memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Laporan ini menggarisbawahi, pentingnya strategi baru WHO terhadap terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan untuk menurunkan permasalahan kesehatan global melalui upaya pencegahan kesehatan. Dengan menangani akar penyebab penyakit, seperti air dan sanitasi dapat mengurangi 24 % permasalahan penyakit global akibat lingkungan.? Imbuh Dr. Anders Nordstrom.
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2388&Itemid=2

Selasa, Oktober 27, 2009

Workshop Higiene dan Sanitasi Sekolah

Higiene dan sanitasi sekolah adalah perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan guna terwujudnya lingkungan sekolah yang sehat yang bersih dan nyaman dan terbebas dari ancaman penyakit.
Sekolah adalah suatu lembaga yang mempunyai peran strategis terutama mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia. Keberadaan sekolah sebagai suatu sub sistem tatanan kehidupan sosial, menempatkan sekolah sebagai bagian dari sistem sosial.Sekolah dapat menjalankan fungsinya yaitu sebagai lembaga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang optimal dan mengamankan dari pengaruh negatif dari ingkungan sekitar.
Sekolah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan tidak saja bangun fisik tetapi masyarakat sekolah terrutama peserta didik. Salah satu bagian yang memegang peran penting dalam mencipkatakan kesehatan peserta didik adalah lingkungan sekolah yang memenuhi persyaratan kesehatan.
Kebijakan dalam penyelenggaraan sanitasi dan higiene sekolah sejalan dengan kebijakan program Lingkungan Sehat, Kepmenkes Nomor 1429/Menkes/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan lingkungan di sekolah, kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) berbasis masyarakat dan Kepmenkes Nomor 582/Menkes/SK/IX/2009 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Higiene dan sanitasi sekolah pelaksanaannya dimotori oleh Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Tujuan UKS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik dengan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat dan derajat kesehatan peserta didik maupun warga belajar serta menciptakan lingkungan yang sehat, sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam rangka pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya.
Pembinaan dan pengembangan UKS dilaksanakan melalui tiga program pokok yang meliputi :
a. Pendidikan Kesehatan
b. Pelayanan Kesehatan
c. Pembinaan Lingkungan Kehidupan Sekolah Sehat.

Untuk mengembangkan usaha kesehatan sekolah utamanya higiene dan sanitasi sekolah di lokasi Program Penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS) akan dilakukan workshop higiene dan sanitasi sekolah oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada 28 - 30 Oktober 2009 diikuti oleh Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota lokasi Pamsimas, lintas program dan sektor terkait usaha kesehatan sekolah. Narasumber adalah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah (Kebijakan Usaha Kesehatan sekolah di Provinsi Jawa Tengah); Provincial Project Management Unit Pamsimas jawa Tengah; SD Negeri 04 Panggang Jepara Kabupaten Jepara juara Adiwiyata sebagai sekolah peduli lingkungan; SD Antonius Banyumanik Kecamatan Banyumanik Kota Semarang (implementasi higiene dan sanitasi sekolah/sekolah sehat) dan LSM BORDA Yogyakarta.

Sabtu, Oktober 24, 2009

Dr. dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH.PH Menteri Kesehatan 2009 - 2014

Dr. dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH.PH, ditetapkan sebagai Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) menggantikan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP (K). Pengumuman susunan anggota Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara tanggal 21 Oktober 2009 jam 22.00. Endang Rahayu Sedyaningsih, sebelumnya adalah Peneliti Utama pada Puslitbang Bio Medis dan Farmasi Badan Litbangkes dan pernah menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bio Medis dan Farmasi Badan Litbangkes Depkes.
Endang R. Sedyaningsih lahir di Jakarta, 3 Februari 1955 adalah lulusan FK Universitas Indonesia tahun 1979. Gelar Master on Public Health dan Doktor Kesehatan Masyarakat diperoleh di Harvard University, USA tahun 1992 dan 1997. Buah perkawinannya dengan dr. MJN Mamahit, Sp.OG, dikaruniai 3 orang putra dan putri, Arinanda Wailan Mamahit, Awandha Raspati Mamahit, dan Rayinda Raumanen Mamahit. Endang Sedyaningsih, memulai karirnya di Departemen Kesehatan sejak tahun 1990. Tahun 2004 sebagai pejabat fungsional dengan pangkat Peneliti Madya. Pada 26 Januari 2007 dipercaya oleh Menkes Siti Fadilah Supari sebagai Kepala Puslitbang Biomedis dan Farmasi. Pada 24 Juli 2008 sebagai peneliti Madya dan sejak 1 Agustus 2008 sebagai Peneliti Utama pada Puslitbang Biro Medis dan Farmasi. Sebagai seorang peneliti, Endang R. Sedyaningsih sudah dua kali memperoleh penghargaan yaitu sebagai Penulis Artikel terbaik ke-2 Badan Litbangkes tahun 2000, Presentasi Poster Terbaik ke-3 pada Conferensi Asia Pasifik ke-3 tentang Perjalanan Kesehatan. Karya-karya Endang R. Sedyaningsih diantaranya adalah Pengembangan Jaringan Virologi dan Epidemiologi Influenza di Indonesia (2007), Karakteristik kasus-kasus flu burung di Indonesia (Juli 2005-Mei 2006), dan Kajian penelitian sosial dan perilaku yang berkaitan dengan Infeksi Menular Seksual, HIV/AIDS di Indonesia (1997-2003).
sumber:depkes.go.id

Jumat, Oktober 23, 2009

Uji coba instrumen monitoring higiene sanitasi sekolah








Peserta orientasi monitoring pelaksanaan sanitasi total berbasis masyarakat Departemen Kesehatan yang dilaksanakan di Hotel Lorin Karanganyar, mengambil tempat praktik untuk uji coba penggunaan instrumen monitoring higiene dan sanitasi sekolah di sekolah dasar 01 Delingan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. Intrumen meliputi sarana air bersih dan sanitasi, kualitas sarana air bersih dan sanitasi, penerapan perilaku PHBS dan Keterlibatan siswa dan masyarakat berperilaku PHBS.
Peserta diterima oleh Kepala Desa Delingan, camat karanganyar, Kepala Sekolah Delingan 01, wakil Puskemas, Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar dan pengurus pamsimas serta fasilitator masyarakat. Disamping itu dilakulan penyambutan pula di sekolah tersebut dengan tarian kuda lumping/jaran kepang dan praktek cuci tangan pakai sabun .Penggalian informasi dilalukan melalui wawancara dengan guru, siswa, cek dokumen duta sehat tentang praktek PHBS siswa dan observasi sarana sanitasi dan penerapan PHBS.

Kamis, Oktober 22, 2009

Cuci tangan pakai sabun di Gua Kreo


Peletakan batu pertama pembangunan waduk Jati Barang Semarang di lokasi Gua Kreo dilakukan pada 15 Oktober 2009 oleh Menteri Pekerjaan Umum, dengan dihadiri Gubernur Jawa Tengah dan Walikota Semarang serta tamu undangan. Pada kesempatan itu dilakukan juga gerakan cuci tangan pakai sabun . Secara simbolis dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur beserta ibu dan Walikota. Disamping itu dilakukan juga oleh para tamu undangan. Gerakan ini sebagai peringatan hari cuci tangan pakai sabun sedunia kedua. Gerakan cuci tangan pakai sabun merupakan pencegahan terhadap pandemi Influenza, disamping sebagai kegiatan yang menyenangkan dan menyelematkan dari berbagai penyakit, dan kebiasaan cuci tangan pakai sabun ini diharapkan menjadi suatau budaya bagi keluarga.

Sabtu, Oktober 17, 2009

Community Led Total Sanitation pintu masuk Sanitasi Total Berbasis Masyarakat











Salah satu komponen Program Penyediaan minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAMSIMAS) adalah Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat dan layanan higine dan sanitasi. Komponen ini bertujuan untuk membantu masyarakat dan institusi lokal dalam pencegahan sanitasi buruk dan air yang tidak bersih yang berakibat munculnya penyakit Diare. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) diupayakan dalam mencapai status kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Namun demikian , pencapaian sector sanitasi masih jauh dari yang diharapkan. Pemerintah Indonesia hanya menyediakan sekitar Rp 7,7 triliun, artinya hanya Rp 200 per tahun untuk setiap penduduk Indonesia. Padahal kebutuhan minimal akses terhadap sarana sanitasi yang memadai sekitar Rp 47 ribu per orang per tahun.
Berdasarkan hasil studi Indonesia sanitation Sector Development Program (ISSDP) tahun 2006 menunjukkan bahwa masyarakat yang buang air besar di sembarang tempat sebanyak 47%. Hasil studi Basic Human Servoce pada tahun yang sama menunjukkan bahwa perilaku cuci tangan pakai sabun adalah setelah buang air besar 12 %, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%, sebelum member makan bayi 7% dan sebelum menyiapkan makan 6%. Kenyataan ini berkontribusi terhadap kejadian Diare dan bahkan kerap terjadi kejadian luar biasa yang menyerang masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.
Salah satu upaya dalam peningkatan sanitasi adalah pendekatan sanitasi total yang dikenal Community Led Total sanitation (CLTS). Sanitasi total terdiri dari 5 pilar yaitu penghentian buang air besar (BAB) di sembarang tempat, cuci tangan pakai sabun (CTPS), pengelolaan air minum rumah tangga (PAM RT), pengelolaan limbah cair dan penanganan sampah domestic. Pendekatan CLTS ini memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat untuk melakukan analisis keadaan dan resiko pencemaran lingkungan.
Pintu masuk pengenalan sanitasi total yaitu penghentian BAB di sembarang tempat. Pendekatan ini mengandalkan partisipasi masyarakat secara aktif, membangun dan menggunakan jamban tanpa subsidi dari luar, solidaritas social dan kebanggaan masyarakat sebagai elemen motivasi. Pendekatan subsidi ini dilatarbelakangi kegagalan pendekatan tradisional dalam penyediaan infrastruktur sanitasi di perdesaan di masa lalu yang lebih focus kepada penyediaan prasarana dan bukannya perubahan perilaku.




Pada akhirnya bukan jumlah fisik jamban yang menjadi tolok ukuran keberhasilan, namun perubahan perilaku dari BAB di sembarang tempat ke pemanfaatan jamban keluarga.

Untuk mendukung sanitasi total dengan menerapkan model CLTS di Jawa Tengah telah dilakukan Pelatihan bagi pelatih CLTS tahun 2009 yang berlangsung 12 – 16 Oktober 2009, dengan diikuti 30 peserta Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota lokasi Pamsimas. Mereka nantinya akan menjadi fasilitator di kabupaten dan kota masing – masing untuk bergabung dengan fasilitator yang telah dilatih dan akan melatih para petugas Puskesmas dan mendampingi pemicuan di masyarakat. (diek-pl)

Sabtu, Oktober 10, 2009

Panduan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia 2009


Panduan Penyelenggaran Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia kedua 15 Oktober 2009 dapat diakses di http://digilib-ampl.net/file/pdf/panduan_HCTPS_09.pdf

Rabu, Oktober 07, 2009

Rekomendasi Pertemuan Nasional Lingkungan sehat 2009






Percepatan program kabupaten dan kota sehat 100% pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010 – 2014 melalui advokasi dan sosialisasi untuk mendapatkan dukungan dan komitmen berupa peraturan daerah, kebijakan, pendanaan,integrasi multisektor, pembinaan secara efektif dan berkesinambungan,peningkatan kualitas sumber daya manusia, TOT Pembina kota sehat, studi banding, Departemen Dalam Negeri mendorong kelembagaan, perlu dilakukan penyempurnaan pedoman, dukungan ketersediaan dana di masing – masing satuan kerja perangkat daerah, perlu adanya asosiasi atau jejaring kabupaten dan kota sehat.
Percepatan perwujudan pelabuhan sehat : perlu paying hokum, advokasi dan sosialisasi dan mentargetkan pelabuhan sehat pada 2010 untuk pelabuhan kelas 1 dan 2.
Percepatan perwujudan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) 2014 : masing – masing daerahmentargetkan pencapaian sanitasi total berbasis masyarakat, daerah mengimplementasikan 5 pilar STBM (bebas dari buang air besar di sembarang tempat, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan limbah rumah tangga), pengembangan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat

Pertemuan Nasional Lingkungan Sehat 2009


Pertemuan nasional program lingkungan sehat Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah dilakukan di Golden Flower Jalan Asia Afrika, Bandung, 5 – 8 Oktober 2009. Acara pembukaan dihadiri oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, Dirjen PP dan PL Prof Tjandra Yoga Aditama, Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri. Pada kesempatan ini Wagub Dede Yusuf mengatakan bahwa sector hulu kesehatan berada pada masyarakat sehingga masyarakat diharapkan berperilaku hidup sehat. Akses masyarakat terhadap sanitasi air bersih mencapai 71,3% dan kepemilikan jamban keluarga 54,8%. Rendahnya kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat berakibat kepada penyakit H1N1, H5N1, Diare, Demam Berdarah. Dalam kesempatan itu hadir pula Walikota Payakumbuh,Bupati Bone, Bupati Landak, Peserta dari Dinas Kesehatan Provinsi, Ketua Pembina dan Ketua Forum Kota Sehat, Pokja air minum dan penyehatan lingkungan.
Beberapa hal sambutan Menteri Kesehatan yang disampaikan dirjen PP dan PL :
Program Lingkungan Sehat sangat berperan dalam mencapai sasaran lima program prioritas Departemen Kesehatan, khususnya program prioritas program penanggulangan penyakit menular, gizi buruk dan krisis kesehatan akibat bencana dan program peningkatan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal dan daerah perbatasan serta pulau-pulau terluar, karena sebagaian besar penyakit menular dapat dicegah dengan perbaikan kesehatan lingkungan dan dalam situasi bencana,kebutuhan akan ketersedian air minum dan fasilitas sanitasi menjadi kebutuhan utama masyarakat yang terkena dampak dan apabila tidak terlayani dapat berakibat pada krisis kesehatan seperti Kejadian Luar Biasa penyakit menular.
Melalui berbagai program yang dilaksanakan secara komprehensif dan berkesinambungan, dalam 5 tahun terakhir telah terlihat tren positif kearah pencapaian sasaran tersebut, AKB, AKI dan gizi kurang terus menurun hingga mendekati target sasaran 2009,sementara UHH makin tinggi.
Pencapaian yang cukup menggembirakan tersebut, tidak terlepas dari paradigma baru yang dikembangkan jajaran kesehatan. Jika sebelumnya pelayanan kesehatan masih menempatkan masyarakat sebagai obyek, maka saat ini masyarakat didorong dan diberdayakan untuk mampu menjadi subyek.
Masyarakat diberdayakan untuk mampu secara mandiri menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan yang berkesinambungan, serta mengembangkan sejumlah prakarsa seperti kegiatan sanitasi total berbasis masyarakat dan Pengembangan wilayah sehat.
Pendekatan baru sanitasi total berbasis masyarakat yang saya luncurkan pada tanggal 22 Agustus 2008 telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, ditandai dengan banyaknya provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah mengimplementasikan program ini di daerah dan mengadopsi Strategi Nasional STBM dalam program daerah.Demikian juga dengan Program Kabupaten/Kota Sehat, setiap 2 tahun dilakukan penilaian dan pemberian penghargaan kepada Kabupaten/Kota yang telah memngembangkan berbagai tatanan dengan konsep pembangunan kesehatan berbasis wilayah.Kedua program tersebut menjadi prioritas Departemen Kesehatan dalam upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan sebagaimana tercantuam dalam Sistem Kesehatan Nasional dan UU Kesehatan yang baru.

Selasa, Oktober 06, 2009

Pendaftaran CPNS Depkes 2009

Dalam tahun 2009, Departemen Kesehatan membuka penerimaan Calon Pegawai Negeri sipil untuk wilayah seluruh Indonesia.selanjutnya dapat dilihat di http//.www.ropeg-depkes.or.id

Senin, Oktober 05, 2009

PENANGANAN FAKTOR RESIKO PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

A. PENDAHULUAN

Azas tujuan dan Sasaran Undang Undang Lingkungan Hidup 23 Tahun 97 pasal 3 menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga sesuai dengan pasal 5disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak sebagi bagai berikut :
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping masyrakat memiliki hak terhadap lingkungan seperti tersebut diatas juga berkewajiban untuk :
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Jadi jelas disini ada keseimbangan antara hak masyarakat untuk bisa menikmati kehidupan lingkungan dengan yang layak, juga mempunyai kewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan lingkungan yang sehat. Beban dan tanggung jawab pemeliharaan bukan hanya semata-mata tugas pemerintah saja, masyarakat juga harus ikut berpartisipasi aktif didalamnya

Sudah 12 tahun Undang undang lingkungan hidup disyahkan namun pencemaran lingkungan termasuk pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan sehinggu timbul Issue ” Warming Global ” .

Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain Industri, transportasi, perkantoran dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemar juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun dll.

Pertumbuhan pembangunan seperti industri, transportasi, dll disamping memberikan dampak positip namun disisi lain akan memberikan dampak negatip dimana salah satunya berupa pencemaran udara dan kebisingan baik yang terjadi didalam ruangan ( indoor ) maupun diluar ruangan ( outdoor )

Hasil studi yang dilakukan oleh Ditjen PPM & PL tahun 1999 pada pusat keramaian di 3 kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta dan Semarang menunjukkan gambaran sebagai berikut : kadar debu 280 µg/m3, kadar SO2 sebesar0,76 ppm dan kadar NOX sebesar 0,50 ppm, angka tersebut telah melebihi nilai ambang batas standar kualitas udara.

Kejadian kebakaran hutan beberapa tahun lalu memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi berbagai pihak, khususnya sektor kesehatan. Akibat yang terjadi tidak dapat dihindarkan adalah menurunnya kualitas udara sampai taraf yang membahayakan kesehatan dan akhirnya menimbulkan dan meningkatkan gangguan penyakit saluran pernapasan seperti ISPA, asthma, dan pneumonia serta penyakit mata. Tercatat di beberapa lokasi debu mencapai 10 kali lebih besar dibanding dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan, dan masyarakat yang memerlukan pengobatan di berbagai sarana pelayanan kesehatan meningkat tajam. Penderita ISPA pada daerah bencana asap meningkat 1,8 – 3,8 kali lebih besar dari jumlah penderita ISPA sebelumnya.

Disamping kualitas udara ambien, kualitas udara dalam ruangan ( indoor air quality ) juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Timbulnya penurunan kualitas udara dalam ruangan umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara ( 52%), adanya sumber kontaminasi dalam ruangan (16%), kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material bangunan(4%), dal lain-lain(13%)

Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu mendapatkan perhatian serius, hal ini pula menjadi kebijakan pembangunan kesehatan 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari program unggulan, yang pelaksanaanya melibatkan pemberdayaan masyarakat melalui intervensi faktor resiko agar tidak terjadi penyakit berbasis lingkungan.

B. FAKTOR RESIKO PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN DAN PENGENDALIANNYA
Pencemaran Udara outdoor Terhadap SOX, COX, NOX
Apabila kadar SO2, COX, NOX dalam udara ambien telah melebihi baku mutu ( udara dengan rata-rata waktu pengukuran 24 jam) maka untuk mencegah dampak kesehatan dilakukan pengendalian terhadap faktor resiko sebagai berikut :
a. Sumber Pencemar :
Kendaraan bermotor
· Merawat mesin kendaran bermotor agar tetap berfungsi dengan baik
· Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala
· Memasang Filter knalpot
Industri :
· Memasang scruber pada cerobong asap
· Merawat mesin industri agar tetap baik dan dilakukan pengujian secara berkala
· Menggunakan bahan bakar minyak atau batubara dengan kadar sulfur rendah
b. Manusia
· Menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker gas
· Mengurangi aktifitas diluar rumah

Program Pengendalian Faktor Resiko Pencemaran Outdor di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa melalui Program Penyehatan Lingkungan adalah :

1. Sesuai dengan Tugas Pokok dan fungsi melakukan fasilitasi kegiatan Uji petik kualitas udara di Tempat – Tempat Umum ( TTU ) seperti di Terminal, Lingkungan kerja formal dan non formal di Wilayah Kabupaten/Kota.

Pencemaran udara indoor ( dalam rumah ):
Pengendalian faktor resiko untuk mencegah terjadinya penyakit adalah sebagai berikut :
a. Sumber pencemar
Mendesain rumah sesuai dengan persyaratan kesehatan lingkungan perumahan yaitu :
· Lokasi tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir sampah dan bekas lokasi pertambangan serta tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan kebakaran dll
· Kualitas tanah harus memenuhi persyaratan : Pb maksimal 300 mg/kg, Arsenik total maksimal 100 mg /kg, Cadmium maksimal 20 mg.kg, Benzo (a) pyrene maksimal 1 mg/kg
· Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan seperti : Debu total tidak lebih dari 150 µg/m3, Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam, Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg dan tidak terbuat dari dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.
· Penataan ruang rumah : dinding ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara, ruang dapur harus dilengkapi sarana pembuangan asap
· Pencahayaan alam dan atau buatan dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan
· Kualitas udara didalam rumah tidak boleh melebihi ketentuan : suhu 18 s/d 30 celsius, kelembaban antara 40 % - 70 %, Konsentrasi SO2 tidak boleh melebihi 0,10 ppm/ 24 jam, pertukaran udara 5 cuft /menit/penghuni, Konsentrasi CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam, dan konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3
· Ventilasi alamiah yang permanen minimal 10 % dari lauas lantai
· Limbah cair dan padat harus dikelola dengan baik agar tidak mencemari dan menimbulkan bau

· Kepadatan hunian tidur : luas ruang tidur minimal 8 meter dan tidak direkomendasikan digunakan lebih dari 2 orang tidur
b. Manusia
Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS ) bagi penghuni rumah seperti : Buang Air Besar yang sehat, Tidak berperilaku memasak menggunakan kayu tanpa cerobong asap sambil menggendong anak, dll
Program Penanganan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah terkait dengan penangana indoor polution :
· Program Klinik Sanitasi di Puskesmas yang mengintervensi klien/pasien panyakit berbasis lingkungan dengan melakukan konseling dan kunjungan lapangan/rumah untuk mengidentifikasi faktor reskonya serta memberikan stimulan perbaikan rumah sesuai kebutuhan
· Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), dengan melakukan pemicuan dan pemberdayaan masyarakat untuk perubahan perilaku buang air besar yang sehat
Karsidi Fungsional Umum ( Seksi PL)

Minggu, Oktober 04, 2009

RENCANA SMOKING AREA DI KAB.BATANG





Rumah Sakit Umum Daerah Batang Puskesmas Bandar I Batang

PERINGATAN PUBLIK TENTANG PENGGUNAAN KANTONG PLASTIK KRESEK

Menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap kantong plastik kresek, Badan POM RI
perlu mengeluarkan peringatan kepada publik sebagai berikut:
1. Kantong plastik kresek berwarna terutama hitam kebanyakan merupakan
produk daur ulang yang sering digunakan untuk mewadahi makanan.
2. Dalam proses daur ulang tersebut riwayat penggunaan sebelumnya tidak
diketahui, apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan
atau manusia, limbah logam berat, dll. Dalam proses tersebut juga
ditambahkan berbagai bahan kimia yang menambah dampak bahayanya
bagi kesehatan.
3. Jangan menggunakan kantong plastik kresek daur ulang tersebut untuk
mewadahi langsung makanan siap santap.
4. Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dapat
menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen Badan POM RI dengan
nomor telepon 021-4263333 dan 021-32199000 atau e-mail ulpk@pom.go.id
dan ulpkbadanpom@yahoo.com atau melihat di website Badan POM,
www.pom.go.id
5. Demikian peringatan ini disampaikan untuk disebarluaskan.