Rabu, Desember 30, 2009

Sanitarian Pengusaha Jamban



Menjadi sanitarian bukan cita-cita Sumadi. Namun, Sumadi menunjukkan, pengabdian dan totalitas dalam menggauli profesi yang ibarat jatuh dari langit itu mengantarnya menuju sukses.
Melalui inovasi desain septic tank ciptaannya, Sumadi berhasil menunjukkan, jamban tak sekadar ”urusan belakang” yang remeh. Namun, lebih dari itu, jamban adalah kunci bagi peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, terutama bagi masyarakat kelas bawah.
Berurusan dengan tinja sudah pasti menjijikkan. Tetapi, tidak bagi Sumadi yang berprofesi sebagai sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Persoalan seputar tinja bagi sanitarian—yang bertugas melakukan pencegahan penyakit masyarakat—adalah persoalan penting yang bila tidak ditangani dengan benar bisa menjadi malapetaka.
Sanitasi buruk berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat. ”Kalau mereka sakit-sakitan, uangnya habis dipakai berobat, ya miskin terus,” kata Sumadi.
Prihatin dengan rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan jamban, Sumadi melakukan survei di Desa Begendeng, Kecamatan Jatikalen, Nganjuk. Begendeng dipilih sebagai sasaran survei karena pola sanitasi masyarakatnya yang buruk. Desa ini terletak di muara Sungai Brantas dan Sungai Widas. ”Di dua sungai itulah masyarakat melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) sehari-hari,” kata Sumadi.
Hasil survei tak jauh dari dugaan. Dari 267 rumah di Begendeng, tercatat hanya empat rumah yang memiliki jamban dengan desain septic tank berbentuk kotak. Saat itu biaya membuat jamban sekitar Rp 1,6 juta per unit. Sangat mahal bagi warga yang umumnya bekerja sebagai petani dan buruh.
Sumadi kemudian berinisiatif membuat desain septic tank dengan model silindris. Model silindris lebih cocok digunakan di daerah seperti Jatikalen yang memiliki kontur tanah yang selalu bergerak.
”Model silindris jauh lebih kuat karena titik tekannya hanya satu, yaitu di tengah, sedangkan model kotak lebih gampang roboh,” jelas Sumadi. Dengan model septic tank silindris, Sumadi mampu menekan harga pembuatan jamban hingga Rp 440.000.
Meski harganya jauh lebih murah, saat diperkenalkan banyak warga yang masih ragu. Saat itu baru 10 keluarga yang tertarik memesan jamban kepada Sumadi. ”Waktu itu saya beri jaminan, kalau dalam waktu lima tahun jambannya amblek, uang mereka kembali,” kata Sumadi.
Jaminan dan harga murah yang ditawarkan Sumadi menarik minat daftar warga. Tahun 2003 pesanan jamban Sumadi terus bertambah sampai ke semua kecamatan. Kenaikan harga material hingga dua kali lipat tak membuat pesanan berkurang.
Sukses Sumadi mengampanyekan penggunaan jamban terus berlanjut. Tahun 2003 desain septic tank ciptaan Sumadi diterapkan pada proyek Stimulan Jamban Dinas Kesehatan Nganjuk di lima kecamatan, yaitu Jatikalen, Patianrowo, Lengkong, Baron, dan Sukomoro, sebanyak 100 unit.
Prinsip pengabdian
Lulus kuliah tahun 2004, Sumadi bertekad melebarkan sayap. Dia tak ingin hanya menjadi sanitarian. Sumadi membuka perusahaan pembuatan jamban bersama dua rekannya dengan nama Karya Sanitasi.
Meski menjadi pengusaha, Sumadi memegang teguh prinsip pengabdian profesi sebagai sanitarian. Misi untuk terus mengampanyekan penggunaan jamban bagi masyarakat miskin pun tetap dipelihara.
Siasat Sumadi adalah dengan memberikan diskon. Harga jamban yang semula Rp 1,3 juta didiskon hingga Rp 850.000 per unit.
”Saya memangkas keuntungan. Saya kan sudah dapat gaji. Ini bagian dari tanggung jawab saya sebagai sanitarian. Tujuan utama saya, masyarakat jadi sehat,” ujar Sumadi.
Bahkan, untuk menjangkau masyarakat sangat miskin, Sumadi meluncurkan jamban ekonomis seharga Rp 625.000 dan jamban tumbuh sehat seharga Rp 180.000-Rp 260.000. Warga juga bisa mencicil sesuai dengan kemampuan.
Strategi yang dilakukan Sumadi adalah dengan memperkecil kapasitas septic tank dari yang semula 1,3 meter kubik menjadi hanya 0,7 meter kubik. ”Yang penting masyarakat pakai jamban,” tandas Sumadi.
Hingga menjelang akhir tahun 2009, tercatat 2.600 keluarga di Kabupaten Nganjuk menggunakan jamban buatan Sumadi. Sejumlah wilayah sudah mengantre pesanan, seperti Madiun, Jombang, Kediri, Ponorogo, dan Gresik, termasuk Dinan Kesehatan Provinsi Jatim yang tertarik mengadopsi desain septic tank buatan Sumadi.
Pedagang beras
Sejak kecil Sumadi (39) dididik dan diarahkan oleh orangtuanya, pasangan Djamin dan Sakinem, untuk mengikuti jejak mereka menjadi pedagang beras. Sumadi tak pernah diizinkan meneruskan sekolahnya karena tak ada biaya. ”Pokoknya, lulus SMA saya harus jadi pedagang beras,” kenang Sumadi.
Sumadi tak bisa berbuat apa-apa. Lahir dan besar dalam keluarga miskin membuat dia harus berkompromi dengan keterbatasan. Sumadi pun terpaksa mencekokkan harga berbagai jenis beras, gabah, rendemen, hingga rumus menghitung untung rugi ke otaknya.
Namun, Sumadi adalah manusia keras hati. Semangatnya untuk mengubah nasib tak pernah pupus. Nasib rupanya memang tak bisa ditebak. Roda nasib Sumadi yang telah dirancang menjadi pedagang beras justru menggelinding ke tempat yang tak pernah terbayangkan.
Beberapa saat setelah lulus SMA tahun 1989, Sumadi tanpa sengaja melihat pengumuman penerimaan Sekolah Pembantu Penilik Hygiene (SPPH). SPPH adalah sekolah ikatan dinas selama satu tahun untuk mencetak tenaga sanitarian.
Atas restu Djamin dan Sakinem, Sumadi mendaftar ke SPPH. ”Bapak akhirnya mengizinkan karena selama satu tahun biayanya hanya Rp 500.000,” katanya.
Setahun kemudian Sumadi lulus dari SPPH. Sumadi lalu ditempatkan di Samarinda, Kalimantan Timur, selama tiga tahun. Samarinda menjadi laboratorium pertama Sumadi menggeluti profesi sebagai sanitarian.
Tahun 1994 Sumadi kembali ke Nganjuk. Sumadi bertekad mengabdikan seluruh ilmunya di tanah kelahirannya.
Pilihan Sumadi tak salah. Dengan menjadi seorang sanitarian, dia menemukan jalan hidupnya. Semangatnya untuk mengampanyekan penggunaan jamban masih terus menyala hingga mimpinya tak ada lagi keluarga yang tak memiliki jamban terwujud.
• Lahir: Nganjuk, 9 November 1970 • Pekerjaan: Sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur • Istri: Winarsih (39) • Anak: Rahma Nur Hayati (12) Alfina Nur Hanifah (6)• Pendidikan: - SD Sumber Kepuh 1 Nganjuk (1983) - SMPN Waru Jayeng, Nganjuk (1986) - SMAN 2 Nganjuk (1989) - SPPH Surabaya (1990) - Universitas Adi Buana Surabaya (2004) •

Prestasi antara lain: 1. Sanitarian terbaik tingkat provinsi dari Bank Dunia (2008) 2. Menjadi pembicara di Water Week, Swedia (15 September 2009) 3. Pelestari Lingkungan Tingkat Provinsi Jawa Timur selama 3 kali berturut-turut (2007-2009)
sumber : Kompas

Sabtu, Desember 19, 2009

5R dalam Penanganan Sampah

Persoalan sampah tak akan tuntas bila tidak dimulai dari sumbernya. Selama ini kita mengenal program 3R yakni reduce, reuse, dan recycle. Ternyata 3R saja belum cukup. Kini ada dua R lagi yang harus ditambahkan yakni replace dan rethink.
Inilah yang mengemuka dalam Green Festival di Parkir Timur Senayan, awal Desember lalu. Seperti sudah dipahami banyak orang, reduce adalah mengurangi volume sampah. Reuse adalah menggunakan kembali barang-barang yang habis dipakai seperti menggunakan kantong belanja berulang-ulang. Sedangkan recycle adalah mendaur ulang sampah untuk dijadikan barang baru, misalnya daur ulang kertas maupun plastik.
Nah, yang tak kalah pentingnya adalah replace, yaitu mulai mengganti barang sekali pakai dan barang yang tidak ramah lingkungan dengan barang yang dapat didaur ulang. Misalnya mengganti sendok plastik dengan sendok aluminium. Selain itu, rethink, yakni memikirkan kembali keputusan kita dalam membeli atau menggunakan barang. Pada saat berbelanja, sebaiknya memilih barang yang tidak boros kemasan dan ramah lingkungan seperti barang yang dikemas karton.
Konsep 5R ini memang tidak mudah diterapkan soalnya menyangkut pola pikir dan budaya. Makanya program 5R ini perlu sosialisasi secara massif dan disertai dengan perangkat kebijakan yang memungkinkan semua orang peduli sampah sejak dari sumbernya.
Selama ini masyarakat lebih suka menangani sampah manakala sampah sudah terkumpul. Misalnya dengan membakarnya. Padahal itu adalah cara yang tidak tepat karena bisa menimbulkan pencemaran udara—yakni senyawa dioksin dan furan yang menyebabkan kanker.
Penelitian membuktikan, menumpuk sampah ternyata juga tidak tepat. Onggokan sampah bila dibiarkan menghasilkan gas metana yang dua kali lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida. Satu ton tumpukan sampah padat dapat menghasilkan 62 meter kubik gas metana.
Karena itu, sangat tepat bila sampah dikurangi sejak di sumbernya. Mari sukseskan program 5R! Tak terlalu sulit jika kita mau.

Senin, Desember 14, 2009

SMOKING AREA




Jumlah perokok setiap tahunnya terus meningkat, ditambah dengan rentang usia pengguna yang semakin muda, menjadi perhatian tersendiri bagi Pemerintah . Karena itu, salah satu upaya adalah penyediaan ruang khusus merokok/smoking area pada tempat-tempat umum. Bahkan ada kabupaten/kota yang mempunyai rencana ruang khusus merokok ini menjadi salah persyaratan ketika pengurusan ijin mendirikan bangunan/sarana umum. Pengadaan smoking area tersebut sebenarnya wujud edukasi perilaku hidup sehat.

Hidup sehat dimulai dari lingkungan yang sehat, salah satunya dengan udara yang bersih dan bebas dari asap rokok.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah melalui APBD Provinsi Jawa Tengah 2009 telah mencoba mengembangkan smoking area di Puskesmas dan rumah sakit umum daerah yang tersebar di 15 Kabupaten dan Kota yaitu :


1. Kabupaten Brebes (Puskesmas Tanjung dan RSUD),
2. Kabupaten Pekalongan (Puskesmas Doro dan Sragi 1),
3. Kota Pekalongan (Puskesmas Kusuma Bangsa dan Bendan),
4. Batang (RSUD Batang dan Puskesmas Bandar 1),
5. Kabupaten Semarang (Puskesmas Bergas dan RSUD Ungaran),
6. Kabupaten Boyolali (Puskesmas Ampel 1 dan RSUD Simo),
7. Kabupaten Sragen (Puskesmas Gemolong 1 dan Kedawung),
8. Kabupaten wonogiri (Puskesmas Baturetno 1 dan Purwantoro),
9. Kabupaten Magelang (Puskesmas Grabag dan salaman 1),
10.Kabupaten Purworejo (Puskesmas Bragolan dan Pituruh),
11.Kabupaten Banyumas (Puskesmas Kemranjen 2 dan sokaraja 1),
12.Kabupaten Cilacap (Puskesmas Sidareja dan Adipala),
13.Kabupaten Grobogan (Puskesmas Gubug dan RSUD Dr.R.Soedjati Soemodiharjo),
14.Kabupaten Jepara (Puskesmas Mayong 1 dan Welahan 1)
15Kabupaten Kebumen (Puskesmas Gombong 1 dan Karanganyar 1)

Harapan dengan adanya smoking area tersebut semoga dimanfaatkan dengan sebaik - baiknya dan mungkin dapat direplikasi oleh kab/kota.

Sabtu, Desember 12, 2009

Penderita Tuberkulosis Menerima Perbaikan Rumah



Penyakit Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu diwaspadai (re-emeging). Resiko meningkatnya penyakit tuberkulosis ini disebabkan antara lain oleh faktor lingkungan rumah, yaitu luas ventilasi rumah, kelembaban rumah, suhu rumah, pencahayaan rumah dan kepadatan penghuni rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
Menurut penelitian penderita (Balita) yang menempati rumah padat penghuni (lebih besar atau sama dengan 9m2 per orang) adalah 42 kali lebih besar dibandingkan dengan balita tidak menempati rumah padat penghui. Risiko terjadinya TB paru pada balita yang rumahnya lembab adalah 18 kali dibandingkan dengan balita yang rumahnya tidak lembab. Risiko terkenanya penyakit TB paru pada balita yang memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan (lebih kecil dari 10% luas lantai rumah) adalah 15 kali dibandingkan balita yang memiliki luas ventilasi memenuhi standar kesehatan (lebih besar atau sama dengan 10% dari luas lantai rumah). Risiko terkena TB paru pada balita yang memiliki suhu ruangan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 9,8 kali dibandingkan balita yang suhu ruangan rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Risiko terjadinya TB paru pada anak yang rumahnya tidak cukup pencahayaan adalah 4 kali dibandingkan dengan balita yang cukup pencahayaan. Risiko terjadinya TB paru pada balita yang dirumahnya ada penderita TB yang lain adalah sebesar 49,762 kali dibandingkan dengan balita yang rumahnya tidak ada penderita TB yang lain.
Sebagai bentuk keterpaduan penanganan penyakit Tuberkulosis, Program Lingkungan Sehat mendukung kegiatan tersebut dengan mengadakan kegiatan pemberian stimulant untuk penderita Tuberkulosis melalui pengembangan klinik sanitasi Puskesmas bersumber dana APBD Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2009. Kegiatan ditujukan kepada 5 Kabupaten yaitu Purbalingga, Tegal, sukoharjo, Kudus dan Pemalang . Bentuk kegiatan yaitu survey penderita Tuberkulosis, Kunjungan rumah penderita untuk mengidentifikasi kondisi rumah penderita, sosialisasi dan kesepakatan bentuk stimulant penderita dan pembangunan stimulant serta monitoring kegiatan oleh Forum Kesehatan Desa, Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Provinsi. Untuk setiap kabupaten , Stimulan diberikan kepada 10 penderita Tuberkulosis berupa perbaikan ventilasi, plesterisasi dan genteng kaca untuk pencahayaan. Rata – rata penerima stimulant yang sekaligus penderita Tuberkulosis ini termasuk pula keluarga miskin. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong Kabupaten dan Kota untuk secara bersama sama menanggulangi peningkatan penyakit Tuberkulosis dari aspek lingkungan perumahan. Anggaran APBD Provinsi tidak memungkinkan untuk semua Kabupaten dan Kota oleh karena itu harapannya stimulant ini dapat direplikasi oleh kabupaten dan kota di Jawa Tengah.sumber seksi Pl 2009.

Rabu, Desember 09, 2009

Wapres : 2015 Sanitasi Dasar Capai 59 Persen


Pemerintah menargetkan sedikitnya 59,1 persen penduduk Indonesia dapat mengakses sanitasi dasar yang layak mulai 2015, sejalan dengan sasaran program Millenium Development Goals (MDG)."Saya kira pemerintah bertekad untuk mempercepat pelaksanaan upaya untuk meningkatkan akses sanitasi sehingga masyarakat bisa mengakses sanitasi dasar yang layak," kata Wakil Presiden Boediono saat membuka Konferensi Sanitasi Nasional (KSN) 2009 di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa.

Dalam acara tersebut dihadiri pula Menteri Kesehatan Endang Rahayu Setyaningsih dan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, acara tersebut juga dihadiri Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana.

Menurut Boediono, Indonesia sangat tertinggal dalam akses sanitasi sehingga diperlukan percepatan peningkatan akses maupun kualitas sanitasi di seluruh pelosok tanah air. Selain itu, tambah Boediono, sanitasi merupkan salah satu hajat hidup dasar dari seluruh masyarakat sehingga akses kepada sanitasi menentukan kualitas hidup masyarakat itu. Akan tetapi pencapain sebesar 59,1 persen tersebut, tambah Boediono adalah pencapaian minimal sehingga diharapkan bisa lebih besar dari angka. Boediono menambahkan akses sanitasi sangat menentukan keberhasilan dari paradigma pembangunan kesehatan lima tahun ke depan yang lebih menekankan pada aspek pencegahan daripada aspek pengobatan.Salah satu kunci pencegahan penyakit, tambah Boediono, adalah akses kepada sanitasi yang sehat bagi semua. Menneg PPN/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana memperkirakan kebutuhan anggaran untuk Program Percepatan Sanitasi Permukiman (PPSP) sekitar Rp55 triliun.Menurut Armida dana sebesar itu akan digunakan untuk kurun lima tahun ke depan setelah dilakukan identifikasi persoalan. Akan tetapi, total pendanaan itu tidak sepenuhnya bisa ditangani hanya dari dana Pemerintah. "Harus ada kontribusi peran serta swasta, masyarakat, dan Pemerintah Daerah," ujar Armida. Karena itu Armida mengatakan Bappenas akan berkoordinasi juga Dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Keuangan untuk ikut merumuskan skema pendanaan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, urusan sanitasi merupakan urusan dan kewenangan daerah, ujar Armida Pada bagian lain Armida menargetkan pada tahun 2014 sebanyak 330 kabupaten/kota akan menjadi sasaran PPSP. Tahap pertama, akan disasar sebanyak 41 kabupaten/kota yang akan dimulai tahun depan."Meskipun tahap pertama targetnya 41 kabupaten/kota, tapi minat dari kabupaten/kota tersebut sangat tinggi," kata Armida. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan ada tiga hal yang menjadi target dari pembangunan sanitasi lima tahun ke depan. Pertama, terwujudnya kondisi Bebas Buang Air Besar Sembarangan hingga akhir tahun 2014 yang ditandai tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat (off-site) bagi 10 persen total penduduk, baik 5 persen terpusat di kota, 5 persen terpusat secara komunal. "PPSP juga menargetkan peningkatan kualitas terhadap sistem pengelolaan air limbah setempat (on-site) yang layak bagi 90% dari jumlah penduduk," kata Djoko. Kedua, PPSP menargetkan tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 persen rumah tangga di daerah perkotaan. Sedangkan yang ketiga, PPSP menargetkan menurunnya luas genangan sebesar 22.500 hektar di 100 kawasan strategis perkotaan.sumber:antara news.

Minggu, Desember 06, 2009

VISI DAN MISI DEPKES 2010 - 2014

Dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, Presiden RI menetapkan 45 program penting yang akan dijalankan di seluruh tanah air berkaitan dengan pembangunan sektoral dan regional. Dari 45 program ini telah dipilih 15 program unggulan, dimana kesehatan masuk dalam program ke 12. Landasan kerja pembangunan kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu ke-2 ini, akan memperhatikan tiga “tagline” penting yaitu change and continuity; debottlenecking, acceleration, and enhancemen; serta unity, together we can.

Sejak dilantik menjadi Menteri Kesehatan, dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. telah menetapkan program jangka pendek 100 hari dan program jangka menengah tahun 2010 – 2014 yang disusun dalam sebuah rencana strategis Depkes. Program 100 hari Menkes mengangkat 4 isu, yaitu (1) peningkatan pembiayaan kesehatan untuk memberikan Jaminan Kesehatan Masyarakat, (2) peningkatan kesehatan masyarakat untuk mempercepat pencapaian target MDGs, (3) pengendalian penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, serta (4) peningkatan ketersediaan, pemerataan dan kualitas tenaga kesehatan terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) Untuk meningkatkan kinerja
Departemen Kesehatan, telah ditetapkan Visi dan Misi Rencana Strategis Depkes tahun 2010 – 2014. Visi Rencana Strategis yang ingin dicapai Depkes adalah “Masyarakat Yang Mandiri dan Berkeadilan“. Visi ini dituangkan menjadi 4 misi yaitu (1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani, (2) Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan, (3) menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan, serta (4) Menciptakan tata kelola keperintahan yang baik. Visi dan
Misi ini akan diwujudkan melalui 6 Rencana Strategi Tahun 2010 – 2014, yaitu:
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti,: dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif
3. MEningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan social kesehatan nasional
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
sumber: Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@puskom.depkes.go.id, kontak@puskom.depkes.go.id.