Jumat, Agustus 27, 2010

Layanan Sanitasi Menuju PHBS

Di daerah perdesaan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, penyakit yang penularannya berkaitan dengan air dan lingkungan terutama penyakit Diare masih endemis dan masih merupakan masalah kesehatan. Untuk itu,kesadaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), sangat diperlukan.
"PHBS adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat," ujar Drs. A. Thosim, MM, Kabid PKPL (Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan) pada Dinkes Kabupaten Tegal sebagai nara sumber dalam pelatihan Program Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) bagi pelaksana tingkat desa di Gedung PKK, pada akhir Juli lalu.
Selain itu, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah resiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Dengan tujuan meningkatnya pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat.
"Anggota rumah tangga berperan aktif dalam gerakan perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat"ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan sasaran promosi PHBS adalah anak sekolah terutama siswa kelas IV dan V SD/sederajat. Sebab, mereka merupakan kelompok umur yang mudah menerima inovasi baru dan punya keinginan kuat untuk menyampaikan pengetahuan dan informasi yang diterimanya kepada orang lain. Oleh karena itu, orang tua siswa sekolah dapat mendukung perubahan perilaku siswa sekolah, misalnya penyediaan tempat cuci tangan dan sarana jamban di rumah. Selain anak sekolah, sasaran promosi PHBS juga diberikan pada masyarakat.
"Selain penyakit Diare, penyakit cacingan masih sering diderita oleh siswa sekolah. Penyebab penyakit (agent) berada dikotoron manusia. Selanjutnya mencemari tangan, makanan, serangga (terutama lalat), air, tanah kemudian penyebab penyakit itu masuk ke dalam mulut.
Sedangkan penyebab penyakit yang berada di tinja dapat mencemari air dan lingkungan karena masih adanya tinja di tempat terbuka,"jelasnya. Empat kunci kegiatan PHBS adalah merubah kebiasaan buang air besar di tempat terbuka. Merubah membuang tinja bayi dan balita di tempat terbuka. Meningkatkan perilaku cuci tangan yang benar (cuci tangan dengan air yang mengalir dan sabun) setelah buang air besar, setelah menceboki bayidan balita, sebelum makan serta sebelum menyiapkan makanan. Meningkatkan kualitas air, pencegahan pencemaran dan peningkatan perilaku penggunaan air yang aman bebas dari pencemaran.
"Kebutuhan materi komunikasi untuk meningkatkan empat kunci PHBS adalah perubahan perilaku terjadi bila masyarakat yang telah punya kebiasaan dan perilaku buruk yang beresiko terhadap kesehatan menyadari dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat akibat melakukan perilaku buruk. Timbulnya kesadaran biasanya bukan karena alasan demi kesehatan, tetapi dengan alasan rasa malu, jijik, gengsi, ajaran agama dan lain-lain,"katanya.
Untuk merubah perilaku buang air besar dan pembuangan tinja bayi dan balita di tempat terbuka masyarakat harus sadar dampak buruk akibat buang air besar sembarangan (pemetaan, alur kontaminasi,alat pemicu, transect walk). Adanya tindak lanjut tentang perubahan perilaku dan kegiatan monitoring tentang keberfungsian dan pemeliharaan jamban.Meningkatkan perilaku cuci tan gan dengan air dan sabun perlu dilakukan demonstrasi cuci tangan yang salah dan yang benar. Sehingga masyarakat tahu bedanya. Demonstrasi cuci tangan yang benar dapat dilakukan di Puskesmas, Posyandu, Pos Bersalin. Selain itu bisa melalui program klinik sanitasi, di kelompok arisan, kelompok pengajian serta di sekolah.
Perilaku meningkatkan kualitas air dan mencegah terjadinya pencemaran dengan cara pemeriksaan kualitas air secara fisik di sumber air dan di sarana air bersih. Pemeriksaan kualitas kebersihan di sumber air dan sarana pelayanan air untuk mengetahui resiko pencemaran air. Menjaga kebersihan di sarana pelayanan air dan di sumber air.
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya meningkatkan kualitas air dan mencegah terjadinya pencemaran. "Sanitasi total, kondisi ketika suatu komunitas: Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS). Mencuci tangan pakai sabun (CTPS). Mengelola air minum dan makanan yang aman (PAM-RT). Mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman dan mengelola sampah dengan benar,"lanjutnya.
Diutarakannya pula dalam pengoperasian dan pemeliharaan sarana sanitasi Pamsimas sarana sumber air yang berasal dari air tanah, air permukaan, maupun air hujan harus dilakukan pemeriksaan secara bakteriologi maupun kimia di Laboratorium kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal minimal setahun dua kali. Pipa atau paralon dari sumber air sampai dengan bak penampungan harus selalu dikontrol terutama di sambungan jangan sampai rusak atau bocor.
Tandon air yang ada di rumah tangga harus selalu dibersihkan minimal seminggu sekali untuk menghindari siklus perkembangbiakan nyamuk. Tempat cuci tangan pada SD/MI harus dengan air mengalir dan pembuangan limbah cair harus selalu dikontrol jangan sampai tersumbat. MCK harus selalu bersih, bak air selalu dibersihkan minimal seminggu sekali. Jamban tidak boleh dimasuki anti septic (sabun/detergen,lisol dll) karena akan mematikan bakteri pembusuk, dan tidak boleh memasukkan kotoran lainnya termasuk softex.
"Apabila septic tank telah penuh maka harus segera disedot atau dikuras. Kamar mandi harus selalu dibersihkan minimal seminggu sekali,"pungkasnya. (Yusup/Suara Pertiwi).
sumber :
http://pamsimas.org

Jumat, Agustus 20, 2010

“KOTA SEHAT, WARGA SEHAT” Bagaimana mewujudkannya......?

oleh : Effi Mohammad Hafidz (Fungsional PKM Madya)

Mencermati tema nasional Hari Kesehatan se Dunia ke-62 tahun 2010 mengingatkan kita bahwa masyarakat yang hidup diperkotaan harus punya peran dan kesadaran/kepedulian yang tinggi. Berperan dalam hal ini harus bertindak terhadap permasalahan yang ada dilingkungannya. Sedangkan kesadaran disini kita harus peduli mengantisipasi bilamana lingkungan sekitar kurang mendukung atau perilaku kesehatan yang menyimpang. Masalah kota sehat pada dasarnya merupakan pendekatan kesehatan masyarakat yang bertumpu pada kemitraan pemerintah daerah dengan masyarakat (dunia usaha, akademisi, profesi, media massa, LSM dan organisasi masyarakat lainnya) dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan perkotaan yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan fisik dan lingkungan social kota.
Untuk mewujudkan kota sehat diperlukan proses keterlibatan warga kota yang telah memenuhi tatanan kesehatan dengan berbagai sector terkait seperti bidang pertanian, pariwisata dan perhubungan.
Masalah kesehatan di perkotaan lebih komplek dan beragam misalnya penyakit menular/infeksi atau penyakit yang terkait dengan lingkungan serta kondisi kesehatan lingkungan yang buruk, termasuk kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan. Disisi lain penyakit modern di perkotaan seperti : degeneratif, kelebihan gizi, penyakit/kelainan mental, penyakit kelamin, penyalahgunaan obat/Napza dan minuman keras, penyakit karena kekerasan dan kecelakaan masih menjadi perhatian kita semua. Selain itu, pemukiman kumuh, pencemaran udara, air dan tanah serta perilaku kesehatan yang kurang mendukung, seperti : merokok , membuang sampah dan membuang kotoran disembarang tempat, masih sering ditemui diwilayah perkotaan. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian kita bersama, kepadatan lalu lintas, pencemaran udara, perumahan yang kurang sehat/kumuh dan pelayanan masyarakat yang kurang layak yang kesemuanya berdampak pada kesehatan masyarakat dan akhirnya berpengaruh pada kualitas hidup manusia di dalamnya. Semua itu memerlukan proses penyuluhan ke masyarakat untuk mengubah dan memperbaiki perilaku menjadi lebih sehat, mengingat kota sehat merupakan konsep yang berkesinambungan.
Munculnya berbagai masalah kesehatan di perkotaan tersebut merupakan resultante berbagai factor seperti : tingginya jumlah penduduk yang kurang memiliki akses kesehatan, pengangguran yang dapat menimbulkan masalah ekonomi dan social serta perubahan lingkungan akibat arus urbanisasi. Pertumbuhan di perkotaan secara cepat dapat menimbulkan berbagai masalah dan memerlukan kesiapan segenap komponen yang peduli dan responsive terhadap permasalahan tersebut. Padahal kehidupan diwilayah perkotaan sudah banyak tatacara/aturan yang sudah ada, baik yang dibuat oleh Pemerintah, Swasta maupun masyarakat, termasuk misalnya seperti : Peraturan dilarang merokok ditempat umum, di sarana pelayanan kesehatan, di sarana pendidikan, di kendaraan umum, Peraturan dilarang membuang sampah disungai/dikali, atau disembarang tempat dan Peraturan tentang penggunaan kendaraan tentang pembatasan gas karbon monoksida dan karbon dioksida yang dibolehkan, demikian pula himbauan masyarakat tentang Gerakan-gerakan misalnya, Gertak PSN, penanaman pohon bagi setiap orang, Gerakan masyarakat menuju Indonesia Sehat, Gerakan Jumat Bersih, Progaram Kali bersih dan lain-lain. Namun semaua ini belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Semestinya wilayah perkotaan seyogyanya patut dicontoh oleh daerah/kota yang belum maju. Hal ini selain belum ada komitmen politik yang kuat antara pemerintah, swasta dan dunia usaha juga peran serta aktif masyarakat yang secara sadar belum mendukung sepenuh hati, termasuk juga membangun karakter manusia (SDM) yang belum siap. Hal ini bila terjadi terus-menerus seperti ini, akan sulit kualitas hidup manusia tercapai.
Karena untuk mewujudkan kota sehat, model yang biasa dilakukan dengan gerakan-gerakan masyarakat. Barangkali gerakan masyarakat itu perlu diimbangi dengan ketegasan penegakan peraturan yang telah ada harus diatasi dengan pemberlakuan aturan dan pengawasan serta pemberian sangsi bila terjadi pelanggaran, misalnya sangsi denda uang atau penjara bila terjadi pelanggaran atau kelalaian yang kemungkinan dapat merubah perilaku , seperti halnya warga kota.
Andaikan semua ini dapat kita implementasikan tentunya kwalitas hidup masyarakat tercapai, niscaya lambat laun kota sehat warga sehat akan terwujud. Semoga.

Kamis, Agustus 19, 2010

Peraturan tentang rokok di Jawa Tengah

Oleh : Effi Mohammad Hafidz, SKM, MKes
(Fungsional PKM Madya)

Di Jawa Tengah, semua masyarakat sudah mengetahui , bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan informasi tersebut sudah tertera pada bungkus rokok dan bahkan sudah sampai diiklankan baik di media massa cetak, elektronik maupun media massa lainnya. Sebahagian masyarkat mengkonsumsi rokok karena tertarik oleh berbagai macam iklan rokok yang semakin hari tambah menarik.
Disisi lain masyarakat yang tidak merokok mempunyai hak untuk menghirup udara bersih tanpa paparan asap rokok, terlebih bagi anak-anak maupun kaum ibu.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok menjadi alasan sulitnya penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang ditunjukkan dengan keadaan hampir 70% perokok di Indonesia mulai merokok sebelum berumur 19 tahun (Data Surkesnas 2004, usia mulai merokok 10 tahun)
Agar permasalahan dan kondisi tersebut dapat dikendalikan maka perlu dilakukan upaya pengamanan terhadap bahaya merokok melalui produk hukum dan penetapan KTR. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 mengenai pengamanan rokok bagi kesehatan diantaranya menetapkan KTR pada tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Demikian pula Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pada pasal 115 ayat 1 tentang KTR.
Menurut Menkes Endang Rahayu, hingga kini di Indonesia sudah 18 Kabupaten/Kota telah memiliki kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Perda atau Pergub. Adapun daerah yang memberlakukan KTR antara lain adalah Palembang, DKI Jakarta, Bogor, Surabaya, Padang Panjang. Sedangkan daerah yang telah melakukan sosialisasi pengaturan KTR dan berencana menerapkan Perda tentang pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan adalah Sumsel, Sumbar, Bali, Kalbar, DKI, Jabar, Jateng, Yogya, Sulsel, NTB dan NTT.
Di Jawa Tengah, ada beberapa tahapan kegiatan dalam penyebarluasan informssi maupun penyediaan sarana mengenai rokok. Adapun daerah yang telah / sudah mendapat sosialisasi tentang bahaya rokok maupun aturan tentang rokok di 35 kabupaten dan kota.

Untuk mendukung adanya peraturan tentang rokok tersebut, di Jawa Tengah telah ada beberapa klinik berhenti merokok (KBM), tempat khusus untuk merokok ( block smoking area ). Adapun lokasi Klinik berhenti merokok di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) adalah Semarang, Ambarawa, Pati, Magelang, Tegal, Pekalongan, Klaten, FKM Undip, RSU Dr Moewardi Surakarta, BP4 Salatiga dan BP4 Kebumen.
Demikian juga disediakan peralatan yang diberikan untuk mendukung beroperasinya klinik berhenti merokok, meliputi : produk papan peringatan, rak tempat leaflet,, minitrivision, asbak, jam dinding, exhauster, AC split, televise plasma, DVD player, sketsel, meja kerja, kursi kerja, sofa, stetoskop, tensimeter, tempat tidur periksa, timbangan injak dan pengukuran badan.
Walaupun penangan masalah perilaku merokok di Jawa Tengah secara umum relative sulit, namun upaya-upaya untuk membatasi / mengurangi perilaku merokok dan bahkan untuk menyediakan sarana untuk merokok (block smoking area) telah di dialokasikan seperti di 8 perkantoran SKPD Provinsi dan SKPD kabupaten dan kota.

Harapan penulis, semoga masyarakat Jawa Tengah baik perokok pasif , perokok pemula dan perokok aktif dapat menerima dan mewujudkannya akan adanya peraturan tentang rokok tersebut. Demikian. Semoga bermanfaat.

Rabu, Agustus 18, 2010

Pewarna Makanan dari Bahan Berbahaya Marak Lagi

Berburu jajanan sepulang sekolah sepertinya menjadi aktivitas menarik yang mungkin pernah kita lakukan saat masih di bangku sekolah. Ada es bertabur coklat, dan ada gulali dengan warna dan bentuk yang menarik. Meski begitu baiknya kita tahu proses pembuatannya yang jauh dari higienis. Para pedagangnya pun tersebar mulai dari pinggiran Jakarta hingga ke kawasan Jawa Barat.
Di kawasan Subang, Jabar misalnya. Sebuah rumah dijadikan home industry dan dari situ dapat diketahui kandungan yang terdapat di jajanan anak-anak itu. Mulanya gula pasir dimasak bersama air hingga kental pada tingkat panas tertentu. Namun setelah ditelusuri lebih detail, air gula dicampurkan larutan pewarna yang jenisnya termasuk berbahaya jika dikonsumsi.
Entah karena tidak tahu atau memang sengaja, pewarna untuk pakaian dengan warna hijau dan merah dipilih untuk menjadikan tampilan gulali lebih menarik.
Demikian halnya dengan makanan favorit lain yang disukai anak-anak yakni harum manis. Berbekal mesin sederhana pembuat harum manis, aksi pedagang membuat jajanan beraroma wangi gula itu menyita perhatian warga. Tak heran jika jajanan tersebut disukai anak-anak hingga dewasa.
Setelah diselidiki, lagi-lagi pewarna berbahaya yang jelas bukan pewarna makanan digunakan. Menurut keterangan sang pedagang, mereka mengaku tidak paham bahaya pewarna pakaian. Namun biasanya bagi anak-anak yang banyak mengkonsumsi jajanan yang mengandung pewarna berbahaya akan mengalami gangguan tenggorokan dan demam. Efek tersebut akan berlanjut dan mengganggu organ vital dalam tubuh.

Tak jauh beda dengan makanan kerupuk yang dibuat secara tradisional. Wangi dan aroma kerupuk yang telah digoreng seolah memanjakan lidah. Belum lagi warna warni kerupuk merah dan putih membuat bentuknya kian menarik mata. Sayangnya, para konsumen tidak sadar akan bahaya mengintai di balik pembuatan adonan kerupuk tersebut yakni pewarna pakaian.
Seperti yang sudah diduga, bahan dasar adonan kerupuk yang terdiri dari tepung, bumbu, dan air ternyata dicampur dengan pewarna dalam jumlah banyak. Namun sang pedagang dengan polos mengaku seluruh pewarna yang digunakan aman karena untuk membuat kue.
Tak hanya di Subang, Jabar, di kawasan pinggiran Teluk Jakarta pun juga ada yang menyalahi aturan makanan yang aman dikonsumsi. Di situ ada sekelompok nelayan yang baru pulang melaut dan mendapatkan hasilnya yakni kerang. Berkarung-karung kerang yang didapat langsung dibawa ke pengepul yang lokasinya tak jauh dari tempat nelayan menyandarkan perahunya.
Setelah dikumpulkan, ribuan kerang tadi direbus dalam kuali besar hingga matang. Kemudian kerang tersebut dilepaskan dari kulitnya. Kerang yang sudah matang dan tak bercangkang kemudian dimasukkan dalam tong besar untuk melewati proses pencucian. Jika dilihat dengan seksama, tong-tong sudah berwarna merah. Diduga di dalamnya sudah terkandung bahan kimia jenis berbahaya yang sudah lebih dulu dicampur. Proses tersebut otomatis membuat warna kerang yang semula pucat menjadi cerah.
Para pedagang kerang mengaku pewarna yang digunakan adalah pewarna makanan yang dibeli seharga Rp 150 ribu per kilogramnya. Namun saat dilihat bungkusnya, tidak ada cap yang tertulis di bungkusan pewarna makanan tersebut. Karena penasaran dengan kandungan di dalam makanan yang dicampur pewarna berbahaya tadi, beberapa sampel jajanan ini dibawa ke Laboratorium Pusat Pengujian Obat dan Makanan BPOM DKI Jakarta.
Uji sampel pewarna terbagi jadi dua metode, pertama dengan menghancurkan sampel makanan dan jajanan tadi kemudian dipisahkan antara bahan utama dan bahan pewarna. Jajanan harum manis dan kerupuk menjalani proses kimiawi. Setelah bahan pewarna terpisah dari bahan utama, maka dilakukan tes. Objek yang diperiksa direndam dalam larutan kimia.
Dari hasil pengujian di laboratorium dengan metode spectrum graph, hampir semua jajanan tadi mengandung bahan kimia pewarna tekstil Rhodamin B. Menggunakan bahan pewarna tekstil Rhodamin B dalam makanan adalah tindakan ilegal dan membahayakan jiwa konsumennya. Bagi orang yang sensitif terhadap zar pewarna Rhodamin B, dapat segera merasakan efek jangka pendek pada kesehatannya.
Namun tidak adanya kontrol yang ketat dari pemerintah dalam memenuji standar keamanan pada makanan, membuat konsumen sekali lagi dirugikan. Oleh karenanya diimbau pada kita semua agar waspada dan teliti memilih jajanan yang diperlukan khususnya bagi orang tua agar selalu membimbing sang anak. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memilih makanan yang sehat dan higienis serta aman dikonsumsi.(BJK/AYB)

Sabtu, Agustus 14, 2010

Menurunkan Separuh Proporsi Penduduk yang Tidak Memiliki Akses yang Berkelanjutan Terhadap Air Minum yang Aman dan Sanitasi Dasar pada 2015

Tujuan MDG ketujuh antara lain menetapkan target untuk menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki “akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman.”
Namun apa artinya itu?
Mungkin anda bisa mendapatkan air dari sumur atau sungai, atau dari hidran atau keran air. Apakah anda akan meminumnya?
Rasanya tidak
Di lain pihak, anda dapat merebusnya, sehingga bisa memberikan anda “akses terhadap air minum yang aman.” Atau jika anda mempunyai pendapatan rutin, anda dapat membeli air kemasan. Indonesia merupakan konsumen air kemasan terbesar ke delapan di dunia dengan konsumsi lebih dari 7 milyar liter per tahun pada 2004 dan dengan penjualan yang semakin meningkat pesat .Namun demikian, sangatlah sulit untuk dapat memahami bagaimana masyarakat mendapatkan akses dengan cara-cara seperti itu.
Dan MDGs tidak menganggap air kemasan sebagai sumber yang berkelanjutan bagi kebanyakan orang. Jadi untuk itu indikator yang digunakan adalah proporsi penduduk yang memiliki akses berkelanjutan terhadap satu ”sumber air yang terlindungi (improved water source)”.
Apa artinya terlindungi?

Itu bisa saja sebuah sumur, misalnya, yang sudah diberi pembatas atau memiliki pagar atau tutup untuk melindunginya dari kontaminasi hewan. Atau bisa saja air sungai yang telah disaring oleh perusahaan air untuk menghilangkan hampir semua sumber kontaminasi dan kemudian menyalurkannya melalui pipa. Air seperti itu dapat dikatagorikan sebagai “air yang bersih” meskipun tidak bisa disebut air minum yang aman.
Bahkan ada berbagai standar yang berbeda tentang “kebersihan” air. Satu standar, misalnya, mensyaratkan bahwa sumber air paling tidak harus berjarak minimal 10 meter dari tempat yang digunakan untuk pembuangan tinja.

Sepertinya itu bisa dipahami
Dengan menggunakan standar tersebut, Susenas telah memberikan perkiraan seperti yang terlihat. Angka rata-rata nasional untuk Indonesia adalah 52,1%, meskipun angka ini bervariasi dari 34% di Sulawesi Barat hingga 78% di Jakarta. Kecenderungan terkini di tingkat nasional dapat dilihat menunjukkan satu peningkatan yang perlahan namun pasti. Untuk mengurangi separuhproporsi penduduk yang tidak memiliki akses pada 2015 berarti harus mencapai angka sekitar 80%.

Kita sedang menuju ke arah yang tepat
Ya, dengan kemajuan yang kita capai hingga saat ini, nampaknya kita hampir memenuhi target.
Namun dalam kenyataannya, untuk dapat mencapai target minimal “air bersih” akan sulit. Penyebabnyaberbeda-beda antara kawasan perkotaan denganperdesaan. Di kawasan perdesaan sistem yangtelah terpasang mencapai 50%, tetapi tidak terpelihara dengan baik. Artinya, angka 50%pun bisa jadi hanya perkiraan optimistis karena mencakup sistem yang tidak bekerja dengan baik.
Apa yang salah?
Seringkali kurangnya pemeliharaan. Di komunitas komunitas yang menyebar, sistem yang didanai publik seringkali bersumber pada sumur atau mataair. Namun setelah sistem dipasang, mungkin tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untukmemeliharanya. Atau mungkin tenaga ahli yangvawalnya ditugaskan untuk pemeliharaan sudahvpindah. Di perdesaan, pendekatan yang lebih baikbermula dari kebutuhan.
Siapa yang membutuhkan apa?
“Berdasar kebutuhan” artinya komunitas harusmemutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang
mereka inginkan dan meminta bantuan dalammerencanakan dan membangun pasokan air
mereka. Karena mereka akan membayar bahanbahanatau perlengkapan yang digunakan, di masamendatang mereka harus diberikan insentif untuk memelihara sistem mereka tersebut. Pendekatanini berjalan baik namun bisa makan waktu lama.Sebaliknya, situasi di kota-kota besar dan kecilberbeda. Di perdesaan harus lebih jelas siapayang menjalankan sistem.
Siapa?
Tanggung jawab keseluruhan dipegang olehpemerintah daerah. Namun tugas mereka menjadi
lebih sulit karena tidak efisiennya perusahaandaerah air minum (PDAM) yang menyediakan air
baik melalui jaringan pipa ke rumah tangga-rumahtangga atau kepada penduduk secara umum
melalui hidran air. PDAM tidak efisien antara lain karena mereka tidak punya biaya untuk melakukaninvestasi. Biasanya mereka tidak diijinkan untukmenaikkan harga sesuai dengan kebutuhan merekadan sering menyalurkan air dengan harga di bawahsemestinya. Beberapa bupati juga menganggapPDAM sebagai satu sumber pemasukan yangmudah. Tidak mengherankan jika banyak PDAMyang mempunyai banyak utang. Selain itu, banyakdari infrastruktur yang rusak. Di Jakarta, misalnya,sekitar separuh dari air PDAM bocor keluar dari pipa-pipa bawah tanah. Penduduk yang mendapatakses ke jaringan pipa adalah penduduk yangberuntung. Saat ini sekitar sepertiga dari rumahtangga di perkotaan mendapatkan akses jaringanpipa air ke rumah mereka dan jumlahnya tidakbertambah dengan cepat. Antara 1990 dan 2005,cakupan air pipa hanya meningkat 3 persen.

Bagaimana dengan mereka yang tidakberuntung?
Kebanyakan dari mereka, tergantung pada hidranair, menggunakan air sumur atau air sungai. Yangpaling tidak beruntung adalah komunitas termiskinyang tidak mampu membayar pemasanganjaringan pipa air, yang juga dipastikan tidak akanmenjangkau mereka yang hidup di permukimankumuh. Ini berarti pada akhirnya mereka harusmembayar dari pedagang keliling dengan harga10 hingga 20 kali lipat dibandingkan harga yangharus dibayar bila mendapatkan pasokan air darijaringan pipa air minum.

Jadi apa yang harus kita lakukan?
Jelas kita harus lebih banyak menanamkaninvestasi untuk pemasokan air.
Namun kita juga membutuhkan sistem pendanaan yang layak yaitudengan mendapat pemasukan dari penduduk yanglebih kaya sementara memberikan subsidi yangtepat sasaran kepada penduduk miskin. Selainitu, pasokan air yang terlindungi juga harus disertai dengan sistem sanitasi yang lebih baik karena dua hal tersebut saling berkaitan, seringkali bahkansangat dekat.
Dalam hal apa?
Sebagian besar karena sistem sanitasi yang buruk mencemari pasokan air. Seperti yang sudah andaperkirakan, ada satu target MDGs untuk sanitasi. Target tersebut adalah untuk mengurangi separuhproporsi penduduk yang tidak memiliki akses ke sanitasi yang aman.

Apa syarat sanitasi yang “aman”?

Jika beruntung, anda dapat memiliki sebuahtoilet sistem guyur di rumah anda yang terhubungkan dengan saluran pembuangan utama.Namun hanya sedikit dari kita yang bisa memilikinya.Kebanyakan orang tergantung pada jambandengan tangki septik atau bisa juga menggunakantoilet umum. “Sanitasi yang tidak aman”, yanganda tanyakan, dapat berupa penggunaan kolam,sawah, sungai atau pantai. Anda mungkin terkejutmengetahui bahwa Indonesia telah memenuhi target sanitasi. Pada 1990, proporsi rumah tangga yang memilki sanitasi yang aman adalah sekitar30%. Jadi target untuk tahun 2015 adalah 65%. Pada 2006, rata-ratanya adalah 69,3%.

Cukup baik kalau begitu
Ya, dan dalam beberapa hal cukup mengesankan.Sayangnya, banyak sistem tersebut di bawah standar. Banyak sistem yang didasarkan pada tangki septik yang sering bocor dan mencemari air tanah. Jadi meskipun sistem tersebut mungkinlebih aman bagi para pengguna toilet, mereka sangat tidak aman untuk pasokan air. Anda jugamungkin sadar bahwa pada 1990 kita memulai dengan tingkat yang cukup rendah sehingga targetyang ditetapkan tidak terlalu tinggi. Nampaknya,kita mungkin cukup berhasil namun bisa jadi itu hanya ilusi. Kita perlu menanamkan investasi lebihbanyak.
Seberapa banyak lagi?
Satu perkiraan menyebutkan bahwa selama sepuluhtahun ke depan, biaya keseluruhan mencapaisekitar $10 milyar32. Investasi tersebut diharapkanberasal dari rumah tangga maupun pemerintahdan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya.Hasilnya akan terjadi penghematan biaya yangbesar, mulai dari berkurangnya biaya pengobatan hingga penghematan waktu untuk tidak perlu mengantri di toilet umum. Sejumlah ahli ekonomi memperkirakan bahwa, untuk setiap rupiah yangdiinvestasikan kita dapat menghasilkan keuntungan sepuluh kali lipat.
Terdengar menguntungkan.
Bagaimanacaranya berinvestasi?
Itu tergantung di mana anda tinggal. Di perdesaan,orang biasanya memulai dengan sesuatu yangsederhana, misalnya sebuah jamban cemplung dankemudian berganti menjadi jamban dengan tangkiseptik.
Di kawasan perkotaan, situasinya lebihsulit karena lebih terbatasnya ruang. Penduduk termiskin pada awalnya paling tidak akan terus menggunakan toilet umum. Dalam jangka lebihpanjang kita perlu mencari cara untuk menyediakan sistem saluran air limbah umum sehingga semakin banyak orang dapat mengaksesnya. Sepertihalnya pasokan air, peningkatan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan masyarakat. Orangharus menyadari betapa pentingnya sanitasi yangbaik dan merencanakan bersama sistem merekasendiri. Sementara, pemerintah dapat memberikandukungan. Namun demikian, menanamkaninvestasi dalam satu sistem sanitasi mungkin akansama maknanya dengan investasi untuk memilikirumah.
Tujuan 7 MDG's

Jumat, Agustus 13, 2010

Wajah Muram MDGs Di Indonesia

Oleh: Wahyu Susilo

Pada tanggal 3-4 Agustus ini di Jakarta berlangsung Pertemuan Khusus Tingkat Menteri tentang Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) se-Asia Pasifik dengan tema ”Run Up to 2015”.Pertemuan ini merupakan persiapan negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik dalam menghadapi MDGs + 10 Summit pada September 2010. Pertemuan tingkat tinggi ini akan mengevaluasi perjalanan MDGs sebagai komitmen global penanggulangan kemiskinan yang sudah menapak 10 tahun dari target 15 tahun yang direncanakanSebelumnya pada 23 Juni lalu Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengawali rangkaian kegiatan MDGs + 10 Summit dengan meluncurkan Millennium Development Goals Report 2010, sebuah laporan yang memperlihatkan kemajuan dan kelambanan dunia dalam menapaki target komitmen global untuk pengurangan atau penghapusan kemiskinan dunia.Untuk kawasan Asia dan Pasifik, laporan tentang posisi pencapaian MDGs juga telah diterbitkan dengan judul Achieving the Millennium Development Goals in an Era of Global Uncertainty: Asia-Pacific Regional Report 2009/2010. Laporan ini menjadi bahan bahasan dalam pertemuan 3-4 Agustus ini.Ada kesamaan pandangan antara UN MDGs Report 2010 dan Asia Pacific Report 2009-2010 dalam melihat krisis finansial sebagai tantangan mencapai MDGs.
Organisasi Buruh Internasional makin menegaskan pandangan tersebut dengan melansir laporan bahwa penambahan jumlah orang miskin pada masa krisis finansial ketika mereka secara tiba-tiba harus kehilangan pekerjaannya.
Di Asia dan Pasifik terjadi penambahan jumlah orang miskin sebesar 21 juta orang, setara dengan jumlah penduduk Australia. Sebagian besar di antaranya adalah mereka yang kehilangan pekerjaannya.
Wajah MDGs Indonesia
Indonesia boleh berbangga menjadi anggota G-20 dan tahan diterpa krisis finansial 2008- 2009, tetapi harus disadari posisi Indonesia dalam pencapaian MDGs juga belum memuaskan.
Berkali-kali, dalam Progress Report MDGs kawasan Asia dan Pasifik, Indonesia masih masuk kategori negara yang lamban langkahnya dalam mencapai MDGs pada tahun 2015.

Sumber kelambanannya ditunjukkan dari masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, belum teratasinya laju penularan HIV-AIDS, makin meluasnya laju deforestasi, rendahnya tingkat pemenuhan air minum dan sanitasi yang buruk serta beban utang luar negeri yang terus menggunung (MDGs Progres Report in Asia and the Pacific, UNESCAP, 2010).
Fakta muram ini juga diperkuat dengan makin merosotnya kualitas hidup manusia Indonesia sebagaimana yang dilaporkan di Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia/IPM).
Jika pada tahun 2006 berada di posisi ke-107 dan tahun 2008 di posisi ke-109, pada tahun 2009 makin melorot di posisi ke-111. (Overcoming Barriers: Human Mobility and Development, UNDP, 2009). Kondisi ini menjadi tantangan berat Indonesia untuk menuntaskan lima tahun terakhir dari target MDGs pada 2015.

Kita tentu tidak boleh menutup mata bahwa pemerintah tidak berdiam diri dalam menuntaskan pencapaian MDGs pada tahun 2015. Peta jalan untuk percepatan pencapaian MDGs di Indonesia telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 mengenai Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Bahkan, Presiden SBY juga telah menunjuk Nina F Moeloek sebagai Utusan Khusus Presiden untuk MDGs (Special Envoy for President on MDGs). Namun, langkah tersebut tidaklah memadai jika hanya ditindaklanjuti dengan pendirian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Nasional dan institusi sejenis di tingkat daerah tanpa disertai dengan perubahan format penganggaran pembangunan (baik di APBN maupun APBD) yang berbasis pada pencapaian MDGs.
Selama ini indikator-indikator yang dipakai untuk penyusunan APBN dan APBD hanya indikator-indikator makroekonomi tanpa menyertakan indikator target MDGs dan IPM.

Oleh karena itu, harus ada perubahan mendasar dalam menilai keberhasilan pembiayaan negara, bukan hanya pada tingkat penyerapan anggaran tetapi juga pada dampak penggunaan anggaran pada pencapaian target MDGs dan indikator IPM yang terukur.
Titik lemah lain dalam upaya pencapaian MDGs di Indonesia adalah tidak adanya pengakuan inisiatif masyarakat (baik organisasi masyarakat sipil maupun sektor swasta) yang selama ini punya peran dalam upaya pencapaian MDGs di Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak pernah mendorong rasa kepemilikan bersama (ownership) MDGs ini kepada seluruh rakyatnya.
Setidaknya dalam empat kali laporan yang disusun oleh Pemerintah Indonesia sangat kuat kesan bahwa pencapaian MDGs identik dengan pelaksanaan program pemerintah. Padahal kita tahu, ada banyak inisiatif dan kreativitas masyarakat muncul dalam menjawab masalah kemiskinan pada saat negara absen memenuhi kewajibannya.
Ironisnya, pemerintah tak pernah mengakuinya dalam laporan MDGs. Pemerintah lebih asyik menyajikan laporan pencapaian MDGs dalam grafik-grafik statistik yang tak bisa mengukur wajah kemiskinan yang berbeda konteks dan pengalaman kesejarahannya.
Wahyu Susilo Program Manager International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Observer Participant di Special Ministerial Meeting for Millennium Development Goal in Asia and The Pacific

Minggu, Agustus 08, 2010

KEBIJAKAN PENYEHATAN LINGKUNGAN 2010 - 2014



RPJMN 2010 – 2014 PRIORITAS KETIGA : KESEHATAN
Tema Prioritas
Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak hanya kuratif, melalui peningkatan kesmas dan lingkungan diantaranya dengan perluasan penyediaan air bersih, pengurangan wilayah kumuh sehingga secara keseluruhan dapat meningkatkan angka harapan hidup dari 70,6 tahun pada 2009 menjadi 72,0 tahun pada 2014, dan pencapaian keseluruhan sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015

Substansi Inti
Program kesehatan masyarakat: Pelaksanaan Program Kesehatan Preventif Terpadu yang meliputi pemberian imunisasi dasar kepada 90% balita pada 2014; Penyediaan akses sumber air bersih yang menjangkau 67% penduduk dan akses terhadap sanitasi dasar berkualitas yang menjangkau 75% penduduk sebelum 2014; Penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan dari 228 per 100.000 kelahiran pada 2007 menjadi 118 pada 2014, serta tingkat kematian bayi dari 34 per 1.000 kelahiran pada 2007 menjadi 24 pada 2014

MDGS Terkait Penyehatan Lingkungan
Tujuan 7 Penyediaan air minum dan fasilitas sanitasi dasar
Tujuan 6 Pengendalian penyakit menular
Tujuan 1 Menurunkan malnutrisi anak gizi buruk dan gizi kurang
Tujuan 4 Menurunkan kematian anak

PROGRAM REFORMASI KESEHATAN TERKAIT PENYEHATAN LINGKUNGAN
Keperpihakan pada daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan serta daerah bermasalah kesehatan
World health class (pengelolaan limbah sarana kesehatan)
Revitalisasi pelayanan kesehatan (BOK, Poskestren,UKS)

TUJUAN
Penyehatan lingkungan BERTUJUAN untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, di udara, air, dan tanah termasuk lingkungan sosial, maupun lingkungan tidak sehat yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim global (Global Warming)

SASARAN
Menurunkan angka kesajitan , kematian dan kecacatan akibat penyakit.

PENDEKATAN PROGRAM
1. SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) DAN PPSP
2. KABUPATEN/KOTA/WILAYAYAH SEHAT
3. HYGIENE SANITASI PANGAN
4. IMPLEMENTASI STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM BIDANG KESEHATAN
5. PENGAWASAN TTU DAN RUMAH SEHAT
6. PENGAWASAN KUALITAS AIR MINUM
7. PENGELOLAAN LIMBAH SARKES DAN ADKL

STRATEGI OPERASIONAL
1. Peningkatan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) penyehatan lingkungan
2. Peningkatan kesling dengan menekankan pada akses terhadap air minum dan sanitasi dasar,
perubahan perilaku hygiene, dan sanitasi melalui Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM),dan pendekatan kabupaten/kota/kawasan sehat;
3. Peningkatan kemampuan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko (air, udara, limbah, pangan)
4. Memperkuat survailan faktor resiko lingkungan
5. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan penyehatan lingkungan

KEGIATAN POKOK
1. Penyehatan air minum & Sanitasi dasar.
2. Penyehatan permukiman dan TTU
3. Penyehatan kawasan dan sanitasi darurat
4. Pengamanan limbah, udara, radiasi.
5. Hygiene sanitasi pangan

Kamis, Agustus 05, 2010

Pelatihan Higiene dan Sanitasi Sekolah




Sekolah adalah suatu lembaga yang mempunyai peran strategis terutama mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia. Keberadaan sekolah sebagai suatu sub sistem tatanannkehidupan sosial, nemempatkan sekolah sebagai bagian dari sistem sosial. Sekolah diharapkan dapat menjalankan fungsinya yaitu sebagai lembaga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang optimal dan mengamankan dari pengaruh negatif dari ingkungan sekitar.

Kebijakan dalam penyelenggaraan sanitasi dan higiene sekolah sejalan dengan kebijakan program Lingkungan Sehat, Kepmenkes Nomor 1429/Menkes/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan lingkungan di sekolah, kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) berbasis masyarakat dan Kepmenkes Nomor 582/Menkes/SK/IX/2009 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Pembinaan dan pengembangan UKS dilaksanakan melalui tiga program pokok yang meliputi
a. Pendidikan Kesehatan
b. Pelayanan Kesehatan
c. Pembinaan Lingkungan Kehidupan Sekolah SehatStrategi dalam penyelenggaraan Sanitasi dan Higiene Sekolah adalah bagian dari strategi nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat melalui kemitraan pemerintah - swasta melalui pembinaan yang dilaksanakan secara lintas program dan lintas sektor melalui kegiatan yang terpadu dan berkesinambungan.

Memperhatikan hal hal tersebut telah dilakukan Pelatihan Higiene dan Sanitasi sekolah tingkat Provinsi Jawa Tengah untuk Kabupaten dan Kota Lokasi Pamsimas diselenggarakan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 4 - 7 Agustus 2010 bertempat di Hotel Rawa Pening Pratama Bandungan. Pelatihan ini diikuti 30 peserta dari 30 Kabupaten dan Kota Lokasi Pamsimas. Fasilitator pelatihan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Tim Pendidikan higiene dan sanitasi sekolah Kabupaten Klaten

Pembukaan acara oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dilanjutkan dengan ramah tamah dan dinamika kelompok serta pengantar pendidikan higiene dan sanitasi sekolah.

Pelatihan ini merupakan salah kegiatan Pamsimas komponen B (peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, layanan sanitasi), yang bertujuan untuk meningkatkan hidup bersih dan sehat di sekolah terutama terkait dengan stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pencegahan penyakit karena air dan sanitasi.

Harapan pelatihan ini seperti disampaikan Dr. Mardiatmo, Sp.Rad Kepala Dinas Kesehatan Provinsi adalah:
1.Peserta dapat mengikuti dan menindaklanjuti pelatihan secara benar sesuai dengan tujuan kegiatan higiene dan
sanitasi Komponen B
2.Bekerja sama dengan fasilitator masyarakat yang berada di desa lokasi Pamsimas dalam memfasilitasi masyarakat sekolah.
3.Mengintegrasikan kegiatan higiene dan sanitasi sekolah dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) sebagai bagian dari Trias UKS.
4.Mengkampayekan perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan sekolah.
5.Melakukan Monitoring dan pendampingan pelaksanaan kegiatan higiene dan sanitasi sekolah di desa.
Seksi PL

Senin, Agustus 02, 2010

TUJUAN PEMBANGUNAN MILLENNIUM

Apakah Tujuan Pembangunan Millennium?
Tujuan Pembangunan Milenium (“Millennium Development Goals”, atau MDGs) mengandung delapan tujuan sebagai respon atas permasalahan perkembangan global, yang kesemuanya harus tercapai pada tahun 2015.
Tujuan Pembangunan Milenium adalah hasil dari aksi yang terkandung dalam Deklarasi Milenium yang diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangi oleh 147 kepala Negara dan pemerintahan pada UN Millennium Summit yang diadakan di bulan September tahun 2000.
Delapan butir MGDs terdiri dari 21 target kuantitatif dan dapat diukur oleh 60 indikator.
Tujuan 1: Memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan
Tujuan 2: Dicapainya pendidikan tingkat dasar yang merata dan universal
Tujuan 3: Memajukan kesetaraan gender
Tujuan 4: Mengurangi tingkat mortalitas anak
Tujuan 5: Memperbaiki kualitas kesehatan ibu hamil
Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
Tujuan 7: Menjamin kelestarian lingkungan
Tujuan 8: Menjalin kerjasama global bagi perkembangan kesejahteraan

Tujuan Pembangunan Millennium:
menyintesis dalam satu paket komitmen-komitmen terpenting yang dibuat secara terpisah-pisah dalam berbagai konferensi dan pertemuan tingkat tinggi internasional yang diadakan pada tahun 1990-an;
merespon secara eksplisit tentang interdependensi antara pertumbuhan, upaya pembasmian kemiskinana dan perkembangan yang berkesinambungan;
mengenali bahwa upaya perkembangan bergantung kepada pemerintahan yang demokratis, pengaturan oleh hukum, kehormatan pada hak azasi manusia, perdamaian dan keamanan hidup; mempunyai tenggat waktu dan target yang dapat diukur beserta dengan indikator dalam memantau kemajuan, dan;
membawa dalam kebersamaan, sebagaimana terkandung pada Tujuan 8, tanggung jawab dalam memajukan Negara berkembang dengan Negara maju, dalam kerjasama global yang dituangkan dalam International Conference on Financing for Development di Monterrey, Mexico pada bulan Maret tahun 2002, and juga pada Johannesburg World Summit on Sustainable Development pada bulan Agustus tahun 2002.

Implementasi Tujuan Pembangunan Milenium

Pada tahun 2001, menanggapi permintaan dari para pemimpin dunia, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadirkan Perencanaan Menuju Pengimplementasian Deklarasi Milenium (“Road Map towards the Implementation of the United Nations Millenium Declaration”). Perencanaan tersebut merupakan ikhtisar yang terpadu dan komprehensif menguraikan berbagai strategi potensial dalam memenuhi tujuan dan komitmen dari Deklarasi Milenium.

Sejak itu, peta strategis tersebut telat menelurkan laporan tahunan. Isi laporan tahunan 2002 memfokuskan pada kemajuan dibuat dalam pencegahan konflik bersenjata dan pencegahan penyakit menular, termasuk HIV/AIDS dan Malaria. Laporan tahunan 2003 menekankan pada strategi perkembangan dan strategi perkembangan berkelanjutan. Tahun 2004 berfokus pada keterpisahan digital dan pengekangan kriminal antar Negara.

Pada tahun 2005, Sekretaris Jendral menyiapkan laporan terpadi berjangka lima tahun berisi kemajuan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Laporan ini meninjau ulang implementasi dari keputusan yang diambil dari hasil berbagai konferensi dan sesi khusus yang membahas negara-negara yang paling tidak berkembang, kemajuan dalam memerangi HIV/AIDS dan pendanaan untuk perkembang dan perkembangan yang berkelanjutan.

Tujuan 1: Mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan
Indikator
Tujuan 1a: Mengurangi hingga setengahnya Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan ekstrim
1.1 Proporsi penduduk yang hidup di bawah $1 (PPP) per hari
1.2 Rasio kesenjangan tingkat kemiskinan
1.3 Porsi dari populasi dalam kategori 20% penduduk termiskin dalam konsumsi nasional
Target 1b: Mencapai ketenagakerjaan yang produktif dan pekerjaan layak merata, termasuk wanita dan usia muda
1.4 Tingkat pertumbuhan produk nasional bruto per orang
1.5 Rasio tingkat keperkerjaan penduduk
1.6 Proporsi penduduk yang bekerja dan berpenghasilan $1 (PPP) per hari
1.7 Proporsi tenaga kerja yang menghidupi diri sendiri dan yang menghidupi keluarga di dalam angka total penyerapan tenaga kerja
Target 1c: Mengurangi Jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya
1.8 Jumlah balita dengan berat badan di bawah normal
1.9 Proporsi penduduk yang mengkonsumsi nilai gizi kalori di bawah standar minimum

Tujuan 2: Mencapai pendidikan dasar untuk semua
Indicators
Target 2a: Memastikan anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar
2.1 Netto jumlah pendaftaran pendidikan dasar
2.2 Proporsi pelajar yang menyelesaikan pendidikan dari Kelas 1 hingga kelas akhir di pendidikan dasar
2.3 Tingkat kemampuan baca-tulis laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun
Tujuan 3: Memajukan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
UNDP bekerja dengan dan berpihak kepada wanita dalam advokasi kebijakan, perkembangan kapasitas wanita dan mendukung rancangan kesetaraan gender dengan berkolaborasi dengan UNIFEM.
Indikator
Target 3a: Menghapus ketimpangan gender di tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah pada tahun 2005, dan pada semua tingkat pendidikan pada tahun 2015
3.1 Rasio anak laki-laki dengan anak perempuan yang mengenyam pendidikan tingkat dasar, menengah dan lanjut
3.2 Proporsi dari wanita sebagai pekerja upahan di sektor non-pertanian
3.3 Proporsi perwakilan wanita dalam parlemen nasional

Tujuan 4: Mengurangi tingkat kematian anak
Indikator
Target 4a: Mengurangi tingkat kematian anak usia 0-5 tahun hingga dua per tiga bagian
4.1 Angka kematian balita
4.2 Angka kematian bayi
4.3 Jumlah bayi usia satu tahun yang diimunisasi campak

Tujuan 5: Memperbaiki kualitas kesehatan ibu
Indikator
Target 5a: Mengurangi angka kematian ibu hingga 75%
5.1 Angka mortalitas ibu
5.2 Jumlah proses kelahiran yang ditangani oleh tenaga medis terlatih
Target 5b: Menyediakan akses kepada kesehatan reproduksi secara merata
5.3 Tingkat penggunaan kontrasepsi
5.4 Tingkat kelahiran remaja
5.5 Jaminan perawatan pra-kelahiran (sekurang-kurangnya satu kunjungan and minimal empat kunjungan)
5.6 Kebutuhan yang belom terpenuhi dalam hal keluarga berencana

Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, malaria and penyakit menular lainnya
Indikator
Target 6a: Menghentikan dan mulai menurunkan kecenderungan penyebaran HIV/AIDS
6.1 Banyaknya penderita HIV berusia 15-24 tahun
6.2 Pengunaan kondom dalam aktivitas seksual resiko tinggi
6.3 Proporsi dari populasi usia 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS yang komprehensif dan tepat
6.4 Rasio kehadiran di sekolah antara yatim piatu dengan bukan-yatim piatu berusia 10-14 tahun
Target 6b: Dicapainya akses perawatan secara merata dan universal bagi penderita HIV/AIDS pada tahun 2010
6.5 Proporsi dari populasi menderita infeksi HIV tingkat lanjut yang mempunyai akses kepada pengobatan antiretroviral
Target 6c: Menghentikan dan menurunkan kecenderungan penyebaran malaria dan penyakit menular lainnya
6.6 Jumlah insiden dan angka kematian karena Malaria
6.7 Proporsi balita yang tidur menggunakan tirai ranjang yang sudah mengandung insektisida
6.8 Proporsi balita yang menderita demam dan dirawat dengan obat-obatan anti-malaria yang tepat
6.9 Jumlah insiden, eksistensi umum, angka kematian karena tuberkulosa
6.10 Proporsi penyakit tuberkulosis (TBC) yang terdeteksi dan terobat dibawah supervisi langsung perawatan jangka pendek

Tujuan 7: Memastikan kelestarian lingkungan
Indikator
Target 7a: Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program Negara; serta mengembalikan sumber daya alam yang hilangTarget 7b: Mengurangi kadar hilangnya keragaman alam dan menurunkan tingginya kadar kehilangan tersebut secara signifikan pada tahun 2010
7.1 Proporsi dari dataran hutan
7.2 Total emisi CO2, per kapita dan per $1 GDP (PPP)
7.3 Konsumsi bahan perusak ozon
7.4 Proporsi dari jumlah ikan dalam batasan aman lingkup hayati
7.5 Proporsi dari sumber air yang digunakan
7.6 Proporsi dari daratan dan laut yang terlindungi
7.7 Proporsi dari spesies yang terancam punah
Target 7c: Mengurangi hingga setengahnya jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar
7.8 Proporsi dari populasi yang menggunakan sumber air minum berkualitas
7.9 Proporsi dari populasi yang menggunakan sarana sanitasi berkualitas
Target 7d: Tercapainya perbaikan yang berarti bagi kualitas hidup untuk sekurang-kurang 100 juta penduduk yang tinggal di daerah kumuh pada tahun 2020
7.10 Proporsi dari penduduk kota yang hidup di wilayah kumuh

Tujuan 8: Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan
Indikator

Target 8a: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif.

Termasuk komitmen kepada sistem pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab, pengembangan kesejahteraan dan pengurangan tingkat kemiskinan pada taraf nasional dan internasional.

Target 8b: Mengatasi persoalan khusus Negara-negara yang paling tertinggal.
Hal ini termasuk akses bebas tariff dan bebas kuota untuk produk eksport mereka, meningkatkan pembebasan utang untuk negara berutang besar, penghapusan utang bilateral resmi dan memberikan ODA yang lebih besar kepada Negara yang berkomitmen menghapuskan kemiskinan.

Target 8c: Mengatasi kebutuhan khusus di negara-negara daratan dan kepulauan kecil (melalui Rencana Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan untuk Negara kepulauan kecil, dan hasil dari sesi khusus dari Rapat Umum ke-22)

Target 8d: Menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun Internasional agar pengelolaan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang.
Beberapa dari indikator dibawah ini dimonitor secara terpisah bagi Negara paling tertinggal, Afrika, Negara daratan dan Negara kepulauan kecil.
Pembiayaan pembangunan (Official Development Assistance, atau ODA)

8.1 Netto dari ODA, total dan untuk Negara paling tertinggal, sebaga persentasi dari pendapatan nasional bruto donor OECD/DAC.
8.2 Proporsi dari total bilateral, alokasi sektor dari donor OECD/DAC untuk pelayanan kesejateraan pokok (pendidikan dasar, perawatan kesehatan pokok, nutrisi, air bersih dan sanitasi).
8.3 Proporsi dari bantuan bilateral resmi tidak terikat yang diberikan oleh donor OECD/DAC.
8.4 ODA yang diterima oleh Negara daratan sebagai proporsi dari produk nasional bruto Negara tersebut.
8.5 ODA yang diterima oleh Negara kepulauan kecil sebagai proporsi dari pendapatan nasional bruto Negara tersebut.
Akses pasar,
8.6 Proporsi dari total impor Negara maju (dalam nilai dan tidak termasuk barang senjata) dari negara berkembang dan paling tertinggal yang bebas bea cukai.
8.7 Tarif rata-rata yang dibebankan oleh Negara maju untuk produk pertanian, tekstil dan pakaian dari Negara berkembang.
8.8 Perkiraan bantuan di bidang pertanian sebagai persentasi dari produk nasional bruto.
8.9 Proporsi dari ODA yang tersedia untuk membantu pertumbuhan kapasitas perdagangan.
Pengelolaan hutang.
8.10 Jumlah Negara yang telah melaksanakan butir keputusan dan memenuhi komitmen HIPC (secara kumulatif).
8.11 Keringanan hutang sebagai tertuang dalam inisiatif HIPC dan MDRI.
8.12 Pelayanan hutang sebagai persentasi dari barang dan jasa ekspor.
Target 8e: Bekerjasama dengan Perusahaan Farmasi, memberikan akses untuk penyediaan obat-obatan penting dengan harga terjangkau di negara berkembang.
8.13 Proporsi dari populasi yang memiliki akses kepada obat-obatan esensial dengan harga terjangkau secara berkelanjutan.
Target 8f: Bekerjasama dengan swasta untuk memanfaatkan teknologi baru, terutama di bidang informasi dan komunikasi.
8.14 Sambungan telepon per 100 penduduk.
8.15 Pelanggan selular per 100 penduduk.
8.16 Pengguna Interner per 100 penduduk.