Kamis, Juli 28, 2011

Gerakan Membangun Kesadaran Total Stop Buang Air Besar Sembarangan

Sebagian orang mungkin masih asing dengan istilah STBM, tapi tidak dengan Aparat Pemerintah Desa di Kecamatan Sukadana Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Hal ini berkat momen kegiatan deklarasi desa Margaharja sebagai desa pertama di wilayah kecamatan Sukadana yang dinyatakan sebagai desa ODF pada tanggal 23 Maret 2010. Namun di balik itu ada peran besar dari sekelompok orang atau boleh dikatakan pahlawan STBM, siapa kalau bukan Drs Yoyo suryana dan kru, Drs Masum beserta laskarnya serta arjuna Sanitasi “Karnen Haryadi”. Rasanya tidak salah kalau gelar itu diberikan kepada mereka berdua. Sepak terjang di kancah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat tidak diragukan lagi. “Okelah kalau begitu“, demikian komentar teman-teman di Seksi Penyehatan Lingkungan Kabupaten Ciamis. Rupanya bu aying kawan-kawan di Seksi Kesling Jabar juga setuju.

Bagi mereka STBM banyak aying warna dalam mengisi aktifitas kedinasan. Rupanya tidak salah jika ketua TKK “Ir Tiwa Sukrianto MS” menerapkan strategi keteladanan dalam membangun kesadaran masyarakat STOP BABS. PaK Kuwu Ma’sum dan laskarnya tidak pernah buntu dengan model pendekatan, seribu satu lebih cara dijajagi untuk mewujudkan angan-angannya agar masyarakatnya terbebas dari kebiasaan buruk buang air besar sembarangan. Kemampuannya dibidang dakwah dan kepiawaiannya dalam menguasai teknologi computer menjadi pelengkap dalam memadukan strategi pemicuan. Tidak jarang selama kurang lebih 2 bulan beliau bergerilya dari satu wilayah dusun ke dusun berikutnya untuk kampaye sanitasi. Pulang larut malam baginya tidaklah asing, sang istripun tetap tersenyum demi membakar semangat dan angan-angannya agar menjadi kenyataan.

Sepenggal kisah di atas menggambarkan bahwa semangat dan tidak mudah menyerah pada tantangan merupakan pembelajaran berharga yang bisa kami petik. Suatu waktu Pak Kuwu masum pernah didamprat dengan kata-kata pedas tokoh masyarakat, begini ceritanya; ketika menyemangati masyarakat yang sedang bergotong royong membangun jamban tiba-tiba seseorang dengan lantangnya berkata “mun pak Kuwu teu bisa nyuksesken ieu program kalayan teu bisa ngarobah masyarakat di lingkungan padumukan pak Kuwu sorangan, leuwih hade kaluar ti ieu dusun” (kalau pak Kuwu tidak bisa mengajak masyarakat untuk berubah dan mensukseskan program di tempat tinggal pak Kuwu sendiri lebih baik pindah dari dusun tempat tinggalnya”.

Perkataannya pedas tapi di balik itu ada pesan mendalam yang membuat pak Kuwu lebih terdorong untuk terus dan terus berkarya demi kemajuan masyarakat di desanya terutama dalam program STBM. Hari berganti bulan, akhirnya selama 3 bulan masa penantian angan-angan itu menjadi kenyataan. Sukses desa margaharja menjadi inspirasi Pak Camat Yoyo untuk mengembangkan program ke desa-desa lainnya di wilayah Kecamatan Sukadana.

Minggon kecamatan menjadi momen tepat bagi Pak camat untuk menyampaikan ide dalam mensukseskan program STBM. Perang terhadap kebiasaan buang hajat sembarangan mulai digenderangkan. Sasaran utamanya adalah para pemimpin desa (KUWU dan perangkatnya, BPD, LPM, MUI serta tokoh masyarakat dan PKK). Gayung bersambut para kepala desa di luar desa Margaharja mulai unjuk keberanian dengan menyatakan “Kuring oge sanggup siga Margaharja, maenya batur bisa urang teu bisa” demikian para Kuwu beretorika, terutama pak Kuwu Suyud dari Desa Sukadana.

Memasuki akhir tri wulan II, tepatnya bulan Maret 2010, Kami dari Kabupaten (dr Pupung, Casuli, Agus, Yaya, Kocim, Ii, Pera dan Yuli) mendapat undangan untuk memberikan pemicuan ke beberapa lapisan masyarakat di Aula Bale Desa Sukadana. Tentunya kehadiran kami didampingi pak Camat Yoyo. Perdebatan paska kampaye menjadi semakin seru ketika ada sekelompok orang tidak meyakini akan keberhasilan program ini. Lagi-lagi pak Kuwu Suyud berusaha meyakinkan bahwa program ini akan berhasil dengan catatan punya semangat dan aksi nyata. Dua minggu kemudian kami mendapat undangan untuk melakukan verifikasi data di lapangan, namun aying seribu aying tim masih menemukan sebagian kecil masyarakat yang masih “DOLONG” (buang air besar di kolam). Kondisi ini menjadi pemicu tim kerja desa untuk terus melakukan kampaye sanitasi STOP BABS. Dibantu dengan Paguyuban Desa Siaga, lambat laun akhirnya terjadi perubahan. Bertepatan dengan tanggal 26 Mei 2010, setelah dilakukan verifikasi tim Kabupaten dan Tim Propinsi, Desa Sukadana Kecamatan Sukadana dinyatakan sebagai Desa kedua di Kecamatan Sukadana sebagai Desa ODF.

Keberhasilan gerakan sanitasi total berbasis masyarakat ini mendorong Desa Margajaya, Desa Ciparigi, Desa Salakaria dan Desa Bunter untuk mengikuti jejak keberhasilan desa tetangganya. Masih pada bulan yang sama di tahun 2010, Desa Margajaya dan Desa Salakaria menyusul menyandang status Desa ODF. Si bungsu Desa Bunter dan Desa Ciparigi terus berlomba. Kondisi ini mendorong Pak Camat untuk terus melakukan pemicuan. Keteladanan dan jalinan kerjasama tim Kecamatan yang baik menjadi bagian penting keberhasilan STBM di Wilayah Kecamatan Sukadana.

Sepenggal kisah duka pernah menimpa arjuna sanitasi “Karnen Haryadi” di kala harus keliling melakukan monitoring proses aktualisasi perubahan STOP BABS, hujan pun turun disertai badai kecil, sehingga menenggelamkan sebagian jalan desa. Tiba-tiba door, ban sepeda motornya pecah. Kring HP Ketua DPMU pun bunyi, “pak punten abi Karnen, antos ban bitu”. Sedih memang mendengarnya, tapi itu tidak berlangsung lama karena setengah jam kemudian pak Karnen pun sudah kembali bergabung dengan tim. Semua rasa letih dan duka, kini menjadi sirna karena pada bulan Juni 2010 seluruh desa di wilayah Kecamatan Sukadana dinyatakan sebagai DESA ODF (8040 KK/22619 jiwa).

Kini Kecamatan Sukadana menyandang Kecamatan pertama di Bumi Tatar Galuh Ciamis sebagai Kecamatan ODF, bahkan mungkin di JAWA BARAT. Amin. Hanya baru untaian ucapan terima kasih, semoga pihak pemerintah daerah segera mendeklarasikan status Kecamatan ODF. Sabar Pak…..

Masih banyak penggalan kisah yang ingin kami muat, tapi aying, kami harus menyiapkan bahan untuk Rakor STBM. Selamat Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu mensukseskan dan mempublikasikan kegiatan STBM Kab Ciamis.

Oleh Casuli, SKM

Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis

Sumber: http://www.diskes.jabarprov.go.id/

Selasa, Juli 26, 2011

Ketika Sanitasi Bicara Angka









uangSeringkali kita tidak sadar bahwa kondisi sanitasi kita demikian buruk. Bukan karena kondisi itu tidak ada di sekitar kita, tetapi sebaliknya justru probem-problem itu begitu dekat dengan kita. Angka-angka berikut barangkali dapat membantu kita untuk menyadari bahwa persoalan yang membelit sektor sanitasi bukan persoalan kecil.


56 triliun rupiah adalah jumlah uang terbuang sia-sia setiap tahun akibat kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia. Angka ini jelas sangat besar: setara dengan 2,3% PDB; setara dengan biaya membangun 12-15 juta unit toilet dengan tangki septik yang layak; atau sekitar 25% anggaran pendidikan nasional per setahun. Celakanya, kerugian ekonomi dan finansial itu harus ditanggung pemerintah dan masyarakat. Menurut studi Bank Dunia, kerugian tersebut bisa dikurangi jika kondisi sanitasi diperbaiki.


47.000 rupiah adalah investasi per kapita yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sanitasi, melalui: pengurangan 6-19% biaya kesehatan dan peningkatan 34-79% jumlah waktu produktif. Dengan jumlah penduduk 220 juta, angka investasi akan mencapai 11 triliun rupiah per tahun. Tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk biaya telepon selular yang mencapai sedikitnya 35 triliun per tahun (180 juta pelanggan; 15 ribu per bulan per pelanggan).


40 triliun rupiah per tahun merupakan jumlah uang yang bisa dihemat oleh pemerintah dan masyarakat jika kondisi sanitasi diperbaiki. Sebaliknya, jika investasi tidak segera dilakukan, kerugian ekonomi yang harus ditanggung akan semakin naik seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang mencapai 2,8 juta per tahun.


24,8% penduduk atau lebih dari 60 juta orang masih BAB sembarangan alias tidak menggunakan jamban atau toilet untuk menunaikan “hajat besar” mereka. Dahsyat sekali mengingat jumlah itu setara dengan seluruh penduduk Inggris, atau Prancis, atau Italia. Sulit membayangkan seluruh penduduk di negara-negara maju itu rame-rame BAB sembarangan. Bahkan, kalau memperhitungkan ada-tidaknya tangki septic dan kualitasnya, maka jumlah penduduk yang BAB sembarangan mencapai 51% atau lebih dari 110 juta orang.


6,4 juta ton dan 64 juta meter kubik adalah produksi tinja dan urin per tahun. Kalau 51% penduduk masih digolongkan BAB sembarangan, berarti 3,2 juta ton tinja dan 32 juta meter kubik urin per tahun dibuang sembarangan: mencemari sungai, sumber air, selokan, pelataran, dan sebagainya. Atau tiap hari kita mencemari lingkungan dengan tinja seberat 8.700 gajah dan urin sebanyak volume 21 Danau Toba. (Percik Edisi khusus PPSP)




Sulitnya Menjadi Penyuluh Sanitasi Di Desa

EmerensiaMenjalani profesi sanitarian (penyuluh sanitasi) di daerah bukan pekerjaan mudah. Sanitarian perlu berhadapan dengan masyarakat yang masih awam soal pentingnya kesehatan. Petugas penyuluhan sanitasi di daerah perlu bekerja ekstra untuk mengajak orang menjalani perilaku hidup bersih sehat. Pasalnya, masyarakat pedesaan, termasuk di desa pesisir kepulauan Flores, belum terbiasa menjalani pola hidup sehat mendasar dengan memiliki MCK.

Salah satu daerah pesisir ini adalah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lembata terus berbenah menggerakkan kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku menjadi lebih sehat. Pemerintah daerah setempat menargetkan 30 desa menjalani perilaku hidup bersih sehat melalui
program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), pada 2012 nanti.

LSM, pemerintah daerah, puskesmas, dan sanitarian sebagai fasilitator berkolaborasi untuk menjalani program ini. Fasilitator datang ke desa membawa enam pesan STBM. Lima pesan yang diterapkan skala nasional adalah mengajak masyarakat tidak buang air besar sembarangan (BABS), cuci tangan pakai sabun (CTPS), mengelola limbah rumah tangga, mengelola air minum, dan mengelola limbah cair. Satu lagi pilar dalam konteks lokal Lembata, pengasingan ternak dari rumah tempat tinggal.

Emerensia Benidau Amd Kesling (28), perempuan kelahiran Lembata, memilih terlibat dalam program ini sebagai sanitarian. Setelah menyelesaikan pendidikan D-3 Kesehatan Lingkungan di Yogyakarta, perempuan yang akrab dipanggil Erni ini memutuskan kembali ke Lembata, kampung halamannya.

Erni bekerja di puskesmas Waipukang, ibukota kecamatan Ile Ape, kabupaten Lembata, NTT. Sejak 2006 lalu, ibu yang tengah hamil anak kedua ini resmi diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Lembata, sebagai sanitarian.

"Sejak lama saya ingin bekerja di bidang kesehatan. Apalagi di sini, banyak program yang dijalankan namun tenaga tidak ada. Satu orang di puskesmas bisa mengerjakan dua atau tiga program. Mama yang menjadi perawat di puskesmas di kecamatan lain, menjadi pemicu saya untuk bekerja di kesehatan," tutur Erni kepada Kompas Female, seusai peresmian desa total sanitasi di Watodiri, Ile Ape, Lembata, NTT, Sabtu (16/4/2011) lalu.

Sebagai sanitarian, Erni bersentuhan langsung dengan masyarakat memberikan penyadaran perilaku hidup sehat, melalui program STBM. Tidak mudah baginya mengubah perilaku masyarakat untuk hidup lebih sehat. Butuh proses untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya kesehatan serta mengidentifikasi persoalan di desa. "Masyarakat perlu diberitahukan pelan-pelan mengenai lima pilar STBM, agar mereka memahami dan mau mengubah perilaku," jelasnya.

Bagi Erni, tantangan terbesar menjadi sanitarian di pedesaan adalah berhadapan dengan para orangtua. Para generasi pendahulu ini sudah terbiasa hidup dengan pola tak sehat, seperti buang air besar sembarangan. Saat sanitarian masuk desa untuk memberikan pemicuan dan penyuluhan untuk perubahan perilaku, tak sedikit orangtua yang tersinggung.

"Orangtua merasa malu dan tersinggung. Rasa malu muncul karena soal WC saja mereka harus diatur orang lain. Banyak warga yang memiliki rumah layak tetapi tidak punya jamban. Hal mendasar ini belum disadari para orangtua, inilah yang membuat mereka malu dan tersinggung," jelas Erni, menambahkan rasa malu inilah juga yang mendorong orangtua mengubah perilakunya agar lebih sehat lagi.

Mengambil hati orangtua menjadi tantangan bagi sanitarian desa seperti Erni. Meski begitu, sanitarian selalu punya cara menyampaikan maksudnya. Alhasil, kini 133 rumah tangga di Watodiri dan 75 rumah tangga di Lamaau, Ile Ape Timur, sudah bebas BABS. Dua desa inilah yang menjadi area kerja Erni. Warga di dua desa total sanitasi ini membangun jamban atas kesadaran dan biaya sendiri. Perilaku masyarakat mulai berubah lebih sehat berkat dorongan fasilitator, termasuk sanitarian.

"Perubahan perilaku ini merupakan langkah besar bagi warga terutama para orangtua. Saat menjalani pemicuan, tak sedikit dari para orangtua ini yang menangis. Mengingat kebiasaan lama yang mereka lakukan menimbulkan rasa malu. Kemudian mereka pelan-pelan mengubah perilaku," jelasnya.

Sanitarian punya peran dalam pemicuan, kata Erni. Namun, lanjutnya, kepala desa punya peran jauh lebih besar. Keberhasilan desa menjalani perilaku hidup sehat tergantung kepada upaya kepala desa.

"Petugas sanitasi datang memberikan dorongan, namun bapak desa yang lebih sering berhadapan dengan warga desa. Bapak desa perlu terus-menerus berbicara dan memberikan motivasi. Jika kepala desa mati angin, percuma saja program pemicuan perubahan perilaku hidup sehat di desa," tambahnya.

Saat ini, ada 16 desa di Ile Ape. Sekitar delapan desa sudah mengikuti pemicuan sejak 2008. Namun hanya Watodiri yang sudah resmi mencanangkan desanya sebagai desa total sanitasi (STBM).

"Ukuran sederhananya adalah kepemilikan jamban. Di Watodiri, semua rumah sudah memiliki jamban. Sedangkan di desa lain masih ada belasan rumah yang belum memiliki jamban," jelas Erni, yang bersuamikan pria asal Ile Ape.

Sanitasi, Hak Asasi yang Belum Dinikmati Semua

jambore_sanitasi_ancolJuli tahun 2010, sanitasi ditetapkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sayangnya hak ini belum terwujud secara nyata di masyarakat. ”Kita berusaha bagaimana hak ini bisa terwujud,” kata Wakil Menteri PU, Hermanto Dardak saat membuka acara Jambore Sanitasi 2011 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Senin (20/6/2011).

Di hadapan 198 duta sanitasi dari 33 provinsi seluruh Indonesia dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Hermanto mengatakan, masalah sanitasi menjadi keprihatinan dunia. Bagaimana tidak, sekitar 2,6 milyar penduduk dunia belum memiliki akses sanitasi yang baik. Faktor perilaku menjadi kendala utama.

Di Indonesia sendiri, penduduk yang memiliki akses sanitasi layak baru mencapai 51,2 persen. Dengan jumlah itu, diperkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses sanitasi layak.

Sebagian lagi penduduk masih menggunakan sungai sebagai tempat membuang hajat dan limbah rumah tangga. Wajar bila 76,3 persen sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi tercemar.

Laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia menyatakan bahwa sanitasi buruk menjadi penyumbang bagi meningkatnya penyakit diare. Dari jumlah tersebut anak-anak menjadi korban terbanyak, bahkan lebih banyak dari masalah gizi buruk pada balita. Selain itu, sanitasi yang buruk, menyebabkan Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian dini tiap tahun.

"Laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia memperkirakan biaya pemulihan pencemaran air mencapai Rp 13,3 trilyun per tahun, hampir sama dengan APBN bidang sanitasi yang dialokasikan untuk lima tahun
," ujar Hermanto.

Menurutnya, hal tersebut tentu saja tidak sepadan. "Kita harus menghentikan pencemaran air dan membangun perilaku yang peduli terhadap sanitasi jika ingin pembangunan sanitasi yang kita cita-citakan berhasil," jelas Hermanto.

Jambore Sanitasi ketiga setelah 2008 dan 2010 ini diselenggarakan dalam rangka menyiapkan duta atau penyuluh sanitasi muda yang akan berperan aktif dalam pembangunan masyarakat peduli sanitasi secara berkelanjutan.

Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Budi Yuwono menegaskan, Indonesia memiliki target untuk meningkatkan proporsi rumah tangga terhadap akses sanitasi yang berkelanjutan menjadi 62,41 persen pada 2015.

Untuk itu, pemerintah pusat juga telah mengalokasikan APBN sebesar Rp 14,2 trilyun untuk pembangunan infrastruktur sanitasi permukiman pada tahun anggaran 2010-2014.

Namun, lanjutnya, pembangunan sanitasi permukiman di Indonesia bukanlah masalah infrastruktur semata, tapi juga masalah perilaku. Banyak fakta di masyarakat, infrastruktur canggih sekalipun menjadi sia-sia jika perilaku masyarakat belum berubah.

Jambore sanitasi ini berlangsung hingga 25 Juni. Nantinya akan terpilih para duta sanitasi. Jambore ini diisi berbagai kegiatan di antaranya, edukasi, kampanye, dan publikasi. Ada juga workshop sanitasi dan pengembangan keahlian, kunjungan lapangan, audiensi ke kementerian terkait dan ibu Negara—jika memungkinkan, aksi simpatik dan wisata, pentas kesenian, serta pameran. Tahun ini Jambore Sanitasi mengambil tema: Sanitasi dan Kualitas Anak Indonesia. MJ

Siswa Melek Sanitasi, sebuah Harapan Perubahan

siswa_membersihkan_sampahApa yang Anda bayangkan jika anak-anak Indonesia tumbuh dalam keluarga yang tidak memiliki akses sanitasi layak? Pasti mereka mengalami kondisi yang kurang baik. Paling tidak, mereka memiliki kebiasaan buruk. Nah, kalau kebiasaan buruk ini terus berlangsung maka akan terinternalisasi dalam perilaku kehidupan mereka hingga dewasa. Tentu ini akan menyulitkan upaya untuk mempercepat pembangunan sanitasi di Indonesia.

Saat ini, penduduk yang memiliki akses sanitasi layak baru mencapai 51,2 persen. Dengan jumlah itu, diperkirakan hampir 50 persen anak-anak Indonesia tumbuh dalam rumah tangga yang belum memiliki akses sanitasi layak.

Maka menjadi penting, bagaimana menjadikan anak-anak ini sebagai obyek bagi penyadaran akan pentingnya sanitasi bagi kehidupan mereka dan keluarganya. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk itu adalah melalui sektor pendidikan.

Mengapa? Persoalan sanitasi yang utama adalah perilaku. Dan anak adalah obyek yang mudah dibentuk melalui proses edukasi dan advokasi. Internalisasi perilaku yang baik terkait sanitasi akan menjadikan anak sebagai agen perubahan di keluarga dan masyarakat di sekitarnya secara signifikan.

Bayangkan jumlah siswa di Indonesia lebih dari 32, 3 juta (http://nisn.jardiknas.org, Juli 2010), mulai tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Kalau mereka semua melek terhadap sanitasi dan kemudian menjadi agen perubahan ke arah perilaku yang baik, hasilnya akan luar biasa.

Tentu, semuanya butuh waktu. Mereka tidak bisa dididik secara instan. Ingat, bahwa perilaku menyangkut kebiasaan. Butuh penyadaran dan pembiasaan secara terus menerus khususnya di sekolah. Ini bukan pekerjaan mudah karena bagi mereka yang di rumah belum memiliki akses sanitasi yang baik, benturan akan terjadi.

Di sinilah, perubahan perilaku anak memang mau tidak mau harus menyertakan para guru secara komprehensif. Guru tidak bisa sekadar mentransfer ‘ilmu sanitasi’ kepada anak didik melalui mata pelajaran dan membiasakan di sekolah, tapi guru pun seharusnya tahu bagaimana kondisi prasarana sanitasi para siswanya di rumah. Ini penting untuk mencari jalan bagaimana ‘menjaga’ pemahaman anak terhadap sanitasi agar tidak berubah manakala mereka menemukan sanitasi yang tidak layak di rumah mereka. Harapannya, merekalah yang mendorong keluarga mereka untuk membangun sanitasi yang layak.

Memang ini bukan pekerjaan kecil. Ini adalah usaha besar dan berkesinambungan. Makanya, program penyadaran sanitasi di sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan anak didik yang melek sanitasi dan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat.

Kalau itu terjadi, 32,3 juta anak Indonesia bisa menjadi agen perubahan perilaku di tempat tinggal mereka, pasti sanitasi di Indonesia akan lebih baik. Dan yang terpenting, kualitas anak-anak pun akan meningkat. Inilah potensi besar yang perlu terus digali, menjadikan siswa sekolah sebagai duta sanitasi yang sebenarnya. MJ

Senin, Juli 11, 2011

COCA COLA JUDULNYA CLTS ISINYA

Pada tanggal 26 Juni 2006 saya mengikuti Bapak Kamal Kar (KK) dalam rangka lesson learned pelaksanaan kegiatan STOP BABS dengan metoda CLTS, di Desa Cisalada, Bogor Jawa Barat. Saya sangat beruntung mengikuti bapak Kamal Kar yang pencipta Metoda CLTS. Banyak pengalaman dan ceritera menarik yang saya peroleh dari beliau. Mengikuti bapak Kamal Kar, seolah sedang membaca novel, tidak bosan membacanya berulang terus. Salah satu ceritera menarik judulnya “COCA COLA JUDULNYA-CLTS ISINYA”.
Untuk menceriterakan kembali, saya mengingat-ingat dimana ya buku catatan harian saya? Untung kurang dari 5 menit, saya sudah menemukan buku catatan harian tersebut, yang sudah berada di gudang buku.

INILAH SALAH SATU CERITERANYA:


1.Kamal Kar dan rombongan pertama kali ingin ketemu Ibu Susanti, seorang Natural Leader yang telah behasil bersama masyarakat mencapai Dusun ODF (Dusun Cipuka, Desa Cisalada). Ibu Susan menggandeng bapak Kamal seorang tukang batu yang ada di Dusun Cipuka. Waktu di rumah ibu Susan ini banyak ceritera yang menarik, tetapi saya mau loncat ke ceritera yang lain.

Rombongan Kamal Kar (KK) berjalan menuju Dusun lain, di tengah jalan KK melihat seorang ibu dari Desa lain [Desa Pasir Jaya] sedang mencuci pakaian dan mandi di Pancuran Tujuh. Bangunan pancuran tersebut milik seorang Jaksa yang sengaja dbangun untuk membantu masyarakat untuk keperluan mandi, cuci dan kakus [MCK]. Bangunan kurang terpelihara dan sudah mulai rusak.

KK bertanya kepada ibu yang sedang mencuci tersebut: ”Dimana biasanya ibu berak? Apakah ibu biasanya juga berak di sini? Dan, ......lain-lain”.

KOMENTAR:
• Melaksanakan pemicuan dengan cara berdiskusi di suatu tempat yang riil adalah suatu cara yang efektih


2. Setelah meninggalkan Pancuaran Tujuh rombongan melewati jalan setapak dibawah suatu lereng yang terjal. Perbedaan ketinggian tanah antara jalan setapak di pinggir suatu sungai kecil dan letak pinggir perkampungan kurang lebih 30 meter. Di pinggir sungai kecil tersebut banyak tumpukan sampah yang dilempar dari pinggiran perkampungan.

KK memanggil ibu Susanti [natural leader], dan bertanya, “Mengapa ada sampah disitu?
Ibu Susanti menjawab, “Yang membuang sampah tersebut orang dari Dusun lain, bukan dari dusun saya”.
Tanpa ingin membuat malu Ibu Susanti yang telah berhasil menggerakkan masyarakat, KK hanya bertanya “Apakah ibu senang dengan adanya sampah ini?”. Lebih lanjut KK bertanya, “Apa yang akan dilakukan dengan sampah ini?”.
Ibu Susanti berjanji akan berusaha agar tidak ada lagi tumpukan sampah.
 Tentang sampah ini ternyata sudah terekam dibenak KK dan muncul lagi dalam diskusi yang dilakukan oleh KK bersama masyarakat.
 Akan saya ceriterakan di lain waktu.

KOMENTAR
• Lagi-lagi di tempat yang riil merupakan cara yang efektif untuk melaksanakan pemicuan.
• Ibu Susanti bersama masyarakat telah mencapai Dusun ODF, perlu dimotivasi kembali dengan tantangan pilar yang lain. Sanitasi total juga berarti tidak hanya STOP BABS.

3. Dari tempat onggokan sampah tersebut, kemudian rombongan berjalan lagi melewati jalan setapak (galengan bahasa Jawa) di tengah persawahan. Di tengah jalan ketemu seorang lali-laki.

Tidak di sia-siakan oleh KK dan bertanya “Sudah punya jamban, kapan membangun, apa yang dirasakan setelah mempunyai jamban, dan lain-lain pertanyaan”.

KOMENTAR

Dimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, KK selalu melakukan pemicuan

 Masih banyak catatan lain yang tersimpan di buku tulis. Lain waktu akan saya tulis kembali dan akan saya sampaikan kepada Ibu dan bapak, semoga ada manfaatnya.


PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
1. Alat (tool) PRA yang digunakan adalah Transect Walk, dan tool tersebut dilaksanakan secara fleksibel dan tidak kaku.
2. Dalam melakukan pemicuan selalu tidak melupakan prinsip do dan don’t.
3. Kepada siapa saja selalu menjadi sasaran pemicuan.
4. Cara pemicuan seperti tersebut di atas cocok dilakukan sebagai pemicuan lanjutan setelah dilakukan pemicuan pertama.

Selah saya membaca catatan harian ini, saya teringat iklan coca cola, mengingatkan saya bahwa bapak Kamal Kar juga melalukan pemicuan dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja. Tulisan ini berarti Coca Cola Judulnya CLTS Isinya.

 Ibu dan bapak pasti juga banyak pengalaman yang menarik, sekecil apapun pengalaman ibu dan bapak bagi orang lain merupakan informasi yang indah dan menarik hati.

(Cerita Bapak FX SUDARDJO)
FX SUDARDJO
MOBILE PHONE: 081 2291 0088
EMAIL: sudardjofx@yahoo.co.id